Bolanet Unseen: Berpetualang Bersama Pelatih Kiper Arema FC

Bolanet Unseen: Berpetualang Bersama Pelatih Kiper Arema FC
Reporter Bolanet, Dendy Gandakusumah bersama pelatih kiper Arema FC. (c) Dendy Gandakusumah

Bola.net - - Ponsel saya seakan tak henti-hentinya berdenting pada Rabu (17/04) malam lalu. Beratus-ratus pesan masuk, termasuk melalui sejumlah grup pembicaraan, membahas hasil hitung cepat pemilihan presiden, yang digelar pada siang harinya.

Di tengah riuhnya pesan-pesan yang masuk ke ponsel saya, akhirnya kabar yang saya nantikan pun tiba pada pukul 21.52. Yanuar Hermansyah, yang keseharian dikenal sebagai Pelatih Kiper Arema FC, mengirim pesan soal konfirmasi keberangkatan kami ke Gunung Bromo.

Rencana perjalanan ke Bromo ini sendiri sebetulnya sudah digagas sejak beberapa pekan sebelumnya oleh saya dan sejumlah rekan jurnalis olahraga lainnya. Mulanya, kami berencana hanya melakukan trip singkat ke wilayah Jemplang, salah satu pintu masuk ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang berada di wilayah Kabupaten Malang. Kami hanya berencana menikmati matahari terbit, ngopi, ngobrol, lalu pulang.

Rencana ini harus tertunda selama beberapa. Pasalnya, kami masih harus fokus dalam meliput Piala Presiden 2019.

Peserta pembicaraan ini pun akhirnya bertambah. Kami sepakat mengajak Yanuar -yang memang akrab dengan kalangan jurnalis- dalam perjalanan ini. Dengan gegap gempita dan antusias, Pak Begal -demikian kami biasa menyapa Yanuar- menyambut ajakan tersebut.

Beberapa menit jelang tengah malam, suasana di sekitaran Masjid Sabilillah, di Jalan Ahmad Yani Kota Malang, sudah lengang. Hanya satu dua kendaraan yang melintasi salah satu ruas jalan utama di Kota Malang ini. Di situlah saya dan Pak Begal berjanji untuk bertemu.

Belum genap sepuluh menit menanti, motor CB 150R warna hitam dengan rangka merah mendekat. Pengendaranya mengenakan helm half face. Ia juga hanya mengenakan kaos, kemeja flanel, celana gunung, dan sepatu hiking. Ia pun hanya membawa daypack Sioux biru. Ia lah Pak Begal, yang langsung menyunggingkan senyum khasnya begitu memarkir motornya menjejeri motor saya.

Pak Begal sendiri, di luar kesehariannya sebagai Pelatih Kiper Arema, merupakan sosok pegiat kegiatan-kegiatan luar ruang. Selain sebagai pencinta alam, pria berusia 55 tahun ini juga merupakan seorang biker. Sejak muda, ia sudah menjalin kecintaannya dengan si roda dua, terutama skuter.

Tak menunggu lama, kami pun berangkat. Kami berencana akan makan malam dan menambah isi tangki bensin dalam perjalanan. Dalam perjalanan ini, akhirnya hanya tinggal kami berdua. Sejumlah rekan, yang awalnya berencana ikut, harus membatalkan rencana. Ada yang harus bekerja, ada yang kebagian jatah ronda, ada pula yang terjebak hujan.

Lengangnya jalanan membuat perjalanan kami tanpa hambatan. Kendati hanya memacu motor dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam, tak sampai 15 menit berselang, kami sudah tiba di wilayah Songsong, Singosari, Kabupaten Malang.

Kami berhenti di sebuah warung lalapan. Seporsi bebek goreng, ayam goreng, dan dua gelas teh hangat menjadi tambahan tenaga bagi kami untuk menempuh perjalanan ini. Setelahnya, giliran motor kami yang mendapat tambahan asupan bahan bakar. Tak lupa, kami pun mampir di sebuah minimarket untuk membeli tambahan bekal.

Setelah menambah perbekalan, kami pun langsung bersiap untuk menempuh perjalanan ke Bromo, melalui jalur Nongkojajar. "Jalan santai saja. Masih jam segini. Paling nanti di sana kita juga masih harus menunggu untuk melihat sunrise," kata Pak Begal, usai melihat jam Suunto yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu itu, jam asal Finlandia tersebut menunjukkan pukul 01.00 WIB.

Perjalanan ke Nongkojajar berlangsung lancar. Tak banyak kendaraan yang harus berbagi jalan. Walhasil, kami tak perlu waktu lama tiba untuk tiba di wilayah Purwodadi, sebelum berbelok ke kanan, ke arah Nongkojajar.

Bagaimana kelanjutan perjalanan kami? Simak selengkapnya di bawah ini ya Bolaneters.

1 dari 5 halaman

Nikung-Nikung di Nongkojajar

Nikung-Nikung di Nongkojajar

Reporter Bolanet, Dendy menikmati indahnya panorama gunung Bromo. (c) Dendy Gandakusumah

Jika mulanya medan yang kami hadapi adalah jalan lintas provinsi, kali ini jalanan berubah menjadi lebih sempit. Bagi yang hobi nikung, eh cornering, jalur ini sangat layak dijajal. Belum sempat motor tegak, sudah harus rebah lagi.

Sejam menikmati tikungan-tikungan landai, kami tiba di sebuah pos, yang dijaga seorang petugas TNBTS. Ia menyarankan agar kami berhenti dulu di situ, sekadar beristirahat, ngopi, atau makan mie instan. Hal ini untuk mencegah para pengunjung terserang hipotermia, akibat terlalu lama terpapar udara dingin di wilayah Penanjakan, tempat yang akan kami tuju untuk menikmati matahari terbit.

"Di Penanjakan, suhu bisa sampai nol derajat celcius. Risiko hipotermia kalau terlalu lama di atas. Akhir 2018 lalu ada pengunjung yang terkena hipotermia, hanya lima menit sebelum sunrise," kata petugas pos itu mengingatkan.

Tak usah menunggu sampai Penanjakan, di pos itu pun, dingin sudah terasa. Menurut termometer yang ada di jam Pak Begal, suhu berkisar 20 derajat celcius. Mulai merasakan dingin, Pak Begal pun mulai mengenakan jaket. Ia pun mengenakan buff dan berkalung sarung untuk menghangatkan leher dan dadanya.

Setelah menghabiskan segelas kopi dan beristirahat sejenak, kami mulai lagi perjalanan ke Penanjakan. Kali ini, medannya berubah. Tikungan-tikungan mulai curam. Jalanan pun tak semulus sebelumnya. Banyak lubang dan lumpur yang siap menjebak. Kecepatan motor kami pun tak pernah melewati 60 km/jam.

Sekitar 45 menit menembus kabut, kami pun tiba di Penanjakan. Setelah memarkir motor, kami menuju ke salah satu warung yang ada untuk menghangatkan diri dengan secangkir kopi dan semangkuk mie instan.

2 dari 5 halaman

Menikmati Matahari Terbit di Sunrise View Point

Menikmati Matahari Terbit di Sunrise View Point

Keindahan sunrise Bromo dinikmati dari Sunrise View Point. (c) Dendy Gandakusumah

Azan Subuh bekumandang ketika kami mulai melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki ke Sunrise View Point di puncak Penanjakan. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar 200-an meter. Sepanjang jalan, banyak orang menawarkan suvenir khas Bromo.

Di lokasi Sunrise View Point, sudah banyak pelancong berkumpul untuk bersama-sama menikmati indahnya matahari terbit dari ufuk timur.

Pelatih Kiper Arema, Pak Begal. (c) Dendy GandakusumahPelatih Kiper Arema, Pak Begal. (c) Dendy Gandakusumah

Pukul 05.15, sajian utama perjalanan kami kali ini dimulai. Diawali semburat merah, perlahan warna jingga, ungu, dan spektrum warna lainnya terhampar di langit. Ratusan pelancong, termasuk kami, mengabadikan indahnya proses ini melalui beragam jenis kamera.

Pukul 06.00, matahari sudah terbit sempurna. Sirkus warna dan cahaya pun usai. Waktunya kami melanjutkan perjalanan ke perjalanan berikutnya.

3 dari 5 halaman

Uji Tangguh di Lautan Pasir

Uji Tangguh di Lautan Pasir

Keindahan Gunung Bromo dengan Gunung Semeru tampak di kejauhan. (c) Dendy Gandakusumah

Puas menikmati matahari terbit, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini, Lautan Pasir yang menjadi tujuan kami.

Kami beriringan dengan sejumlah jip mengangkut para pelancong, yang juga hendak menuju lautan pasir. Kami melintasi turunan-turunan curam, yang menguji kekuatan sepeda motor dan kesigapan respon mengemudi. Belum lagi ditambah kondisi jalan yang sulit diprediksi dengan adanya serakan kerikil dan lumpur.

Setengah jam mengendalikan sepeda motor di curamnya jalan menuju lautan pasir, kami pun tiba. Hamparan pasir seluas lebih kurang 10 meter persegi ini langsung memberi kami ujian tambahan.

Bagi jip atau motor trail, tentu tak akan terlalu sulit untuk melintasi hamparan pasir. Namun, kami menggunakan sepeda motor yang dirancang untuk melintasi jalanan aspal. Jadinya? Beberapa kali saya -yang membawa box- harus bekerja keras menyeimbangkan diri dan sepeda motor agar tak sampai jatuh.

15 menit melintasi hamparan pasir gembur, kami pun tiba di tempat parkir jip. Ini merupakan tempat perhentian jip bagi pelancong yang hendak menuju ke kawah Bromo. Dari perhentian tersebut, pelancong bisa melanjutkan perjalanannya ke kawah dengan menyewa kuda atau berjalan kaki.

Namun, saat kami ke Bromo, kawasan kawah masih ditutup. Hal ini tak lepas dari status waspada gunung setinggi 2329 MDPL tersebut. Sampai saat kami di sana pun, kawan Bromo masih terus menyemburkan asap putih kecoklatan.

Gagal ke kawah, kami pun mampir ke warung, yang banyak terdapat di area parkir jip. Mengisi tenaga yang sudah dikuras jalanan curam dan pasir gembur, kami memesan mie instan, sereal, dan dua gelas kopi.

"Kalau sekarang memang tidak boleh ke kawah. Masih berbahaya," ujar Sutinah, pemilik warung, sembari menjerang air. "Namun, ini sudah lebih bagus kondisinya. Asap dari kawah sudah nggak terlalu pekat lagi. Semoga segera istirahat lagi. Jumlah pelancong yang datang ke sini terpengaruh dengan Bromo yang saat ini masih batuk-batuk."

Usai menghabiskan sajian yang terhidang, kami pun meneruskan perjalanan. Kali ini, kami berencana melintasi jalur pasir untuk menuju ke arah Jemplang.

4 dari 5 halaman

Melintasi Pasir Berbisik dan Bukit Teletubbies

Perjalanan kami kembali melintasi Lautan Pasir. Kali ini, jarak yang harus kami tempuh sejauh sekitar 12 kilometer.

Sepanjang perjalanan, kami harus benar-benar lihai memilih jalur. Melenceng sedikit, motor bisa terjebak di pasir gembur.

Istirahat sejenak dan mengabadikan keindahan bukit teletubbies di Bromo. (c) Dendy GandakusumahIstirahat sejenak dan mengabadikan keindahan bukit teletubbies di Bromo. (c) Dendy Gandakusumah

Namun, kelelahan mengendalikan motor di medan offroad ini terbayar lunas dengan keindahan pemandangan sepanjang perjalanan. Ke mana pun mata memandang, terserak bukti keindahan Sang Maha Indah, mulai dari Lautan Pasir, Padang Savanna, sampai Bukit Teletubbies.

Sayangnya, kami tak sempat berhenti di tempat-tempat tersebut. Pasalnya, semakin siang, suhu akan semakin terik. Pasir pun berpotensi kian gembur dan akan lebih menyulitkan kami.

Sekitar satu jam melintasi pasir sembari menikmati pemandangan, kami pun tiba di kawasan Jemplang. Masuk kawasan itu, kami menemukan jalur yang lebih bersahabat.

5 dari 5 halaman

Menjajal Sarapan Khas Tengger

Kami terus melanjutkan perjalanan ke arah Kota Malang. Dari Jemplang, kami melintasi Ngadas menuju arah Tumpang.

Jalanan relatif lebih mulus. Namun, konturnya kali ini didominasi oleh turunan-turunan curam. Karena konturnya tersebut, jalur ini rawan kecelakaan. Sering terjadi kecelakaan yang diakibatkan rem blong pada jalur ini.

Harus menjaga kewaspadaan selama sekitar sejam melintasi jalur berkontur macam ini membuat perut mulai keroncongan. Terlebih, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 09.00, waktunya sarapan.

Memasuki wilayah Gubukklakah, persis di depan Gunung Sari Sunset, Pak Begal, yang berada di depan, membelokkan motornya memasuki pelataran sebuah warung. Warung Kita namanya.

Sekilas, tak ada yang istimewa dengan warung ini. Lebih mirip dengan warung-warung tempat ngopi di kampung-kampung. Namun, siapa sangka, ternyata menu di warung ini sangat menggoda. Sarapan khas Tengger.

Menunggu sekitar 30 menit, ditemani hangat dan wangi aroma kopi khas Tengger, sarapan pun siap. Nasi jagung yang masih panas dipadu dengan ikan asin goreng, tahu goreng, dan telur dadar. Porsi melimpah ini masih ditambah rebusan sayuran. Dan, yang paling istimewa, sambal korek khas Tengger.

Pak Begal menikmati kuliner khas penduduk Tengger. (c) Dendy GandakusumahPak Begal menikmati kuliner khas penduduk Tengger. (c) Dendy Gandakusumah

Tanpa banyak acara, kami langsung menyantap sajian khas Tengger ini. Bahkan, saking nikmatnya, kami sampai beberapa kali menambah nasi jagung, yang disediakan.

Menurut Pak Begal, kendati sederhana, warung ini memiliki banyak penggemar, bahkan dari luar kota. Ada keluarga dari Surabaya yang kerap jauh-jauh datang ke Gubuk Klakah, hanya untuk menyantap hidangan khas Tengger ini.

"Itu belum termasuk rombongan pelancong lain yang turun dari Bromo lalu mampir di warung ini," katanya.

Benar saja, ketika kami sedang bersantap, sebuah jip tiba. Sekeluarga pelancong, yang logatnya dari wilayah Jakarta, keluar dan langsung memesan hidangan di warung tersebut.

Belum lagi keluarga pelancong itu selesai menyantap hidangan mereka, datang lagi semobil pelancong lainnya. Mereka pun langsung memesan paket menu nasi jagung, yang merupakan menu satu-satunya di warung tersebut.

Usai makan dan beristirahat sejenak, kami pun meneruskan perjalanan. Perut kenyang dan hati senang membuat kami bisa berjalan sedikit lebih kencang. Terlebih lagi, kondisi jalanan yang kami hadapi lebih bersahabat.

Tak sampai sejam, kami sudah tiba di kawasan Sawojajar Kota Malang. Di situlah saya dan Pak Begal berpisah jalan. Saya meneruskan perjalanan ke Kantor Arema, di kawasan Mayjen Panjaitan Kota Malang, untuk meliput aksi nazar maskot singa Arema, sedangkan Pak Begal melanjutkan perjalanannya pulang, ke kawasan Sukun Kota Malang.

Oleh: Dendy Gandakusumah