
Bola.net - Tim Gabungan Aremania angkat bicara soal adanya dugaan intimidasi dari aparat kepolisian terhadap salah seorang keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Mereka menyebut, dugaan intimidasi -yang berujung kepada tertundanya proses autopsi jenazah dua korban Tragedi Kanjuruhan tersebut merupakan bentuk obstruction of justice.
"Untuk kasus Devi Athok ini bisa kita klasifikasikan sebagai tindakan polisi yang mengarah kepada obstruction of justice," papar pendamping Tim Gabungan Aremania, Andy Irfan, kepada Bola.net.
"(Ini) menghalang-halangi upaya pengungkapan fakta dan penindakan hukum," sambungnya.
Advertisement
Kasus ini, menurut Andy, bermula dari surat pernyataan Devi Athok terkait autopsi dua putrinya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan. Setelah surat pernyataan ini beredar, sambung Andy, sejumlah personel polisi mendatangi rumah Devi.
Andy menyebut tak ada intimidasi verbal dari para personel polisi tersebut. Namun, menurut Sekretaris Jenderal Federasi KontraS, imbauan dari personel polisi yang hadir di rumah Devi mengarah agar ia tak melanjutkan upaya autopsi.
"Dalam psikologi keluarga korban, kita bisa sebut bahwa tindakan ini intimidatif. Polisi datang ke rumah korban meski tanpa ngomong apa pun, itu sudah intimidasi," tuturnya.
"Kecuali, sebelumnya memang tidak ada insiden. Mereka datang ke situ silaturahmi. Mereka tetangga dekat atau bertamu ya wajar," Andy menambahkan.
Simak artikel selengkapnya di bawah ini.
Didikte Buat Surat
Lebih lanjut, Andy menyebut, naskah surat pembatalan autopsi tersebut didiktekan kepada Devi. Ia dituntun untuk menulis surat ini.
"Kita bisa lihat ini sebagai sebuah upaya dari kepolisian untuk menutup fakta sesungguhnya," tukas Andy.
"Kita bisa melihat, tanpa pemeriksaan medis atau autopsi, sebagian besar korban meninggal dunia memiliki tanda sama. Wajah mereka membiru dan sebagainya. Ini menandakan mereka kekurangan oksigen nggak bisa bernapas, dan meninggal dunia. Salah satu sebab mereka nggak bisa bernapas ya karena keracunan zat kimia dalam gas air mata," ia menambahkan.
Polisi Mesti Menahan Diri
Andy menyebut bahwa polisi semestinya menahan diri dan membiarkan proses hukum berjalan apa adanya. Hal ini, sambungnya, akan membuat publik bisa memandang polisi sebagai sebuah institusi utuh, lepas dari ulah sebagian oknum di institusi tersebut.
"Yang salah ya harus dihukum. Kita perlu polisi sebagai instrumen negara untuk penegakan hukum," kata Andy.
"Namun kalau tindakan para perwira, personel, dan pejabat kepolisian seperti ini, akan semakin menjauhkan publik dari rasa percaya kepada polisi," ia menambahkan.
Polisi Bantah Intimidasi
Sementara itu, tengara adanya intimidasi dari kepolisian kepada keluarga korban dibantah oleh Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Toni Harmanto. Bantahan ini diungkapkannya kala mengunjungi korban luka Tragedi Kanjuruhan di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Kota Malang, Rabu (19/10).
“Tidak benar. Semua diketahui publik, silakan dikonfirmasikan,” katanya.
"Autopsi atas persetujuan keluarga. Informasi yang saya peroleh, keluarga belum menghendaki," Toni menandaskan.
(Bola.net/Dendy Gandakusumah)
Advertisement
Berita Terkait
-
Bola Indonesia 18 Oktober 2022 09:55
COVER STORY: Tragedi Kemanusiaan Kanjuruhan, SOS Sepak Bola Indonesia
-
Bola Indonesia 15 Oktober 2022 06:03
TPF Aremania Sebut Tragedi Kanjuruhan sebagai Pembunuhan Massal
LATEST UPDATE
-
Amerika Latin 21 Maret 2025 06:34
-
Piala Eropa 21 Maret 2025 06:22
-
Tim Nasional 21 Maret 2025 06:21
-
Piala Eropa 21 Maret 2025 06:04
-
Piala Eropa 21 Maret 2025 06:01
-
Piala Eropa 21 Maret 2025 05:55
HIGHLIGHT
- 5 Pemain Gratisan yang Bisa Direkrut Manchester Un...
- Di Mana Mereka Sekarang? 4 Pemain 17 Tahun yang Pe...
- 7 Eks Pemain Real Madrid yang Bersinar di Tempat L...
- 10 Opsi Striker untuk Man United: Solusi Ruben Amo...
- 5 Pemain yang Pernah Membela PSG dan Liverpool
- 7 Mantan Rekan Setim Cristiano Ronaldo yang Pernah...
- Di Mana Mereka Sekarang? 5 Pemain yang Diminta Pau...