Tim Gabungan Aremania: Ada Obstruction of Justice dalam Batalnya Autopsi Korban Tragedi Kanjuruhan

Tim Gabungan Aremania: Ada Obstruction of Justice dalam Batalnya Autopsi Korban Tragedi Kanjuruhan
Kuasa Hukum TPF Aremania, Andy Irfan. (c) Bola.net/Dendy Gandakusumah

Bola.net - Tim Gabungan Aremania angkat bicara soal adanya dugaan intimidasi dari aparat kepolisian terhadap salah seorang keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Mereka menyebut, dugaan intimidasi -yang berujung kepada tertundanya proses autopsi jenazah dua korban Tragedi Kanjuruhan tersebut merupakan bentuk obstruction of justice.

"Untuk kasus Devi Athok ini bisa kita klasifikasikan sebagai tindakan polisi yang mengarah kepada obstruction of justice," papar pendamping Tim Gabungan Aremania, Andy Irfan, kepada Bola.net.

"(Ini) menghalang-halangi upaya pengungkapan fakta dan penindakan hukum," sambungnya.

Kasus ini, menurut Andy, bermula dari surat pernyataan Devi Athok terkait autopsi dua putrinya yang menjadi korban Tragedi Kanjuruhan. Setelah surat pernyataan ini beredar, sambung Andy, sejumlah personel polisi mendatangi rumah Devi.

Andy menyebut tak ada intimidasi verbal dari para personel polisi tersebut. Namun, menurut Sekretaris Jenderal Federasi KontraS, imbauan dari personel polisi yang hadir di rumah Devi mengarah agar ia tak melanjutkan upaya autopsi.

"Dalam psikologi keluarga korban, kita bisa sebut bahwa tindakan ini intimidatif. Polisi datang ke rumah korban meski tanpa ngomong apa pun, itu sudah intimidasi," tuturnya.

"Kecuali, sebelumnya memang tidak ada insiden. Mereka datang ke situ silaturahmi. Mereka tetangga dekat atau bertamu ya wajar," Andy menambahkan.

Simak artikel selengkapnya di bawah ini.

1 dari 3 halaman

Didikte Buat Surat

Didikte Buat Surat

Aremania gantung syal sebagai bentuk duka Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. (c) Iwan Setiawan

Lebih lanjut, Andy menyebut, naskah surat pembatalan autopsi tersebut didiktekan kepada Devi. Ia dituntun untuk menulis surat ini.

"Kita bisa lihat ini sebagai sebuah upaya dari kepolisian untuk menutup fakta sesungguhnya," tukas Andy.

"Kita bisa melihat, tanpa pemeriksaan medis atau autopsi, sebagian besar korban meninggal dunia memiliki tanda sama. Wajah mereka membiru dan sebagainya. Ini menandakan mereka kekurangan oksigen nggak bisa bernapas, dan meninggal dunia. Salah satu sebab mereka nggak bisa bernapas ya karena keracunan zat kimia dalam gas air mata," ia menambahkan.

2 dari 3 halaman

Polisi Mesti Menahan Diri

Polisi Mesti Menahan Diri

Aremania gantung syal sebagai bentuk duka Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. (c) Iwan Setiawan

Andy menyebut bahwa polisi semestinya menahan diri dan membiarkan proses hukum berjalan apa adanya. Hal ini, sambungnya, akan membuat publik bisa memandang polisi sebagai sebuah institusi utuh, lepas dari ulah sebagian oknum di institusi tersebut.

"Yang salah ya harus dihukum. Kita perlu polisi sebagai instrumen negara untuk penegakan hukum," kata Andy.

"Namun kalau tindakan para perwira, personel, dan pejabat kepolisian seperti ini, akan semakin menjauhkan publik dari rasa percaya kepada polisi," ia menambahkan.

3 dari 3 halaman

Polisi Bantah Intimidasi

Polisi Bantah Intimidasi

Petugas polisi dan tentara berdiri di tengah gas air mata dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Indonesia, Sabtu, 1 Oktober 2022. (c) AP Photo

Sementara itu, tengara adanya intimidasi dari kepolisian kepada keluarga korban dibantah oleh Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Toni Harmanto. Bantahan ini diungkapkannya kala mengunjungi korban luka Tragedi Kanjuruhan di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Kota Malang, Rabu (19/10).

“Tidak benar. Semua diketahui publik, silakan dikonfirmasikan,” katanya.

"Autopsi atas persetujuan keluarga. Informasi yang saya peroleh, keluarga belum menghendaki," Toni menandaskan.

(Bola.net/Dendy Gandakusumah)