Pernyataan Polisi bahwa Gas Air Mata Tak Membunuh Disebut Defensif dan Tak Berempati

Pernyataan Polisi bahwa Gas Air Mata Tak Membunuh Disebut Defensif dan Tak Berempati
Petugas polisi dan tentara berdiri di tengah gas air mata dalam kerusuhan di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, Indonesia, Sabtu, 1 Oktober 2022 (c) AP Photo

Bola.net - Pernyataan Kadiv Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo, soal gas air mata tak menyebabkan kematian mendapat tanggapan dari Maulina Pia Wulandari, PhD. Pakar Manajemen Isu dan Krisis dari Universitas Brawijaya ini menilai pernyataan tersebut defensif dan tak berempati kepada korban Tragedi Kanjuruhan dan keluarga mereka.

Menurut Pia, sapaan karib Maulina Pia Wulandari, dalam manajemen isu dan krisis, public relations -sebagai bagian yang bertanggung jawab terhadap komunikasi publik- harus berhati-hati dalam memilih strategi komunikasi. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih strategi komunikasi krisis, yaitu empati dan akurasi informasi. saan rapuh emosional mereka dari pimpinan organisasi.

"Pernyataan bahwa gas air mata tidak berbahaya bisa jadi akurat dan bisa jadi juga masih menimbulkan banyak pertanyaan. Namun, pertanyaanya adalah apakah pernyataan itu sudah memperhatikan suasana psikologis publik terutama para korban dan keluarga saat ini yang sedang berduka dan mencari keadilan," tukas Pia.

"Sementara, saat ini, pihak korban dan keluarganya merasa bahwa Polri belum menunjukkan komitmen mereka dalam memenuhi salah satu harapan warga Aremania dan Aremanita, yaitu empati pada perasaan dan emosional mereka yang sedang dalam kondisi rapuh dan berduka," sambungnya.

Simak artikel selengkapnya di bawah ini.

1 dari 3 halaman

Strategi Defensif

Strategi Defensif

Kerusuhan terjadi di Stadion Kanjuruhan usai laga Liga 1 2022/2023 antara Arema FC vs Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam WIB. (c) AP Photo

Selain tak empatik, menurut Pia, pernyataan Kadiv Humas Polri ini juga merupakan sebuah strategi defensif. Strategi komunikasi ini lazim digunakan untuk mempertahankan diri.

Pia menyebut ada tiga strategi yang digunakan Polri terkait gas air mata. Pertama, mereka menggunakan strategi denial yang bertujuan menghilangkan tanggung jawab pada krisis yang terjadi. Polri menyampaikan bahwa gas air mata yang ditembakkan oleh anggota Brimob bukan menjadi penyebab kematian.

Kedua, Polri dinilai memainkan strategi scapegoat atau shifting the blame, yang lebih menyalahkan orang lain atau sesuatu yang lain sebagai penyebab atas krisis tersebut. Dalam pernyataan Kadiv Humas Polri, penyebab kematian para korban disebut karena kekurangan oksigen dan terinjak oleh penonton yang berlarian ke arah pintu keluar. Sayangnya, hingga hari ini tidak ada hasil otopsi para korban yang meninggal dari pihak Rumah Sakit yang menjadi rujukan tentang penyebab kematian para korban yang meninggal.

Ketiga, Polri juga disebut menggunakan strategi justification, yang berusaha meminimalkan persepsi kerusakan dari peristiwa tersebut. Polri menyampaikan bahwa gas air mata hanya menimbulkan iritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan.

"Namun, fakta yang ditulis di media online dan media sosial, kondisi mata korban yang terkena gas air mata masih dalam keadaan sangat memprihatinkan, korban yang meninggal dunia bertambah, dan korban luka parah masih dirawat di ruang ICU," tegas Pia.

2 dari 3 halaman

Polri Belum Minta Maaf

Polri Belum Minta Maaf

Suporter di Stadion Patriot, Bekasi memegang lilin dalam acara doa bersama untuk mengenang korban di tragedi Kanjuruhan, Malang, Senin 3 Oktober 2022. (c) AP Photo/Tatan Syuflana

Menurut Pia, strategi komunikasi krisis yang berbasis empati sifatnya akomodatif. Artinya, organisasi cenderung bersikap mengakomodir kepentingan publik.

Ada empat ciri strategi komunikasi krisis berbasis empati. Pertama, mengakui kesalahan, menyatakan permintaan maaf kepada publik, dan menyampaikan penyesalan. Kedua, melakukan tindakan korektif, yaitu melakukan perbaikan, menjanjikan perubahan, dan mencegah terjadinya pengulangan kejadian yang sama. Ketiga, menawarkan kompensasi dan bantuan kepada pihak korban. Keempat, memberikan penghargaan kepada pihak yang membantu

Pia menyebut, Polri telah melakukan langkah ketiga dan keempat. Namun, korps baju cokelat tersebut belum melakukan langkah pertama dan kedua. Padahal langkah-langkah ini penting penting, terutama bagi perasaan rapuh dan emosional para korban.

"Hingga hari ini belum adanya pernyataan resmi dari Kapolri sebagai pimpinan Polri menyampaikan permintaan maaf, mengakui kesalahan yang dilakukan oleh anggota POLRI, dan menyampaikan penyesalan atas kesalahan anggotanya. Sehingga wajar jika warga Aremania dan Aremanita menganggap Polri tidak punya hati saat menyampaikan informasi terkait gas air mata," tutur Pia.

Pia menyebut, menurut penelitian The International Association of Chiefs of Police (IACP) yang berbasis di Amerika Serikat, permintaan maaf atas kesalahan dapat mengurangi potensi litigasi dan pertanggungjawaban dan juga membantu menjaga atau memulihkan kepercayaan publik. Sementara, menolak untuk mengakui kesalahan dapat menyebabkan masalah yang lebih besar daripada kesalahan itu sendiri.

"Beberapa kepolisian di negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia dan Perancis telah mengembangkan prosedur operasi standar dan untuk penggunaan permintaan maaf dan pengungkapan penyesalan sebagai bagian dari manajemen resiko," papar Pia.

Ia menyebut, Polri bisa belajar pada Kepolisian Amerika serikat di mana presiden organisasi manajemen kepolisian terbesar di Amerika menyampaikan permintaan maaf resmi kepada populasi minoritas di negara tersebut atas tindakan masa lalu anggota kepolisian Amerika Serikat dalam penganiayaan historis masyarakat terhadap komunitas kulit berwarna. Polri, sambungnya, juga bisa belajar pada kepolisian Inggris dimana Kepala Polisi West Yorkshire meminta maaf atas 'bahasa dan terminologi' yang digunakan oleh anggotanya untuk menggambarkan tentang korban pembunuhan Peter Sutcliffe.

3 dari 3 halaman

Tak Sekadar Minta Maaf

Tak Sekadar Minta Maaf

Aremania gantung syal sebagai bentuk duka Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 131 orang. (c) Iwan Setiawan

Namun, Pia menegaskan, permintaan maaf bukan segalanya. Polri juga harus mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan dan menyampaikan ke publik siapa saja yang bertanggung jawab pada tragedi ini.

"Mereka harus memberikan sanksi tegas kepada penanggung jawab keamanan dari pihak internal Polri. Pemberian bantuan kepada korban saja tanpa ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab dalam krisis ini, hanya akan dipandang sebagai pemaafan dan bentuk gratifikasi tanpa ada pengakuan salah kepada publik. Hanya keadilan hukum yang mampu mengobati rasa sakit hati dan kemarahan publik," ungkap Pia.

"Selama Polri menggunakan strategi komunikasi krisis yang defensif dan tidak berdasarkan pada empati dan akurasi informasi maka reputasi mereka akan semakin terpuruk dan publik sulit memberikan kepercayaan pada Polri," ia menandaskan.

(Bola.net/Dendy Gandakusumah)