Piala Dunia, Perebutan Hegemoni Tanpa Henti Antara Eropa vs Amerika Selatan

Piala Dunia, Perebutan Hegemoni Tanpa Henti Antara Eropa vs Amerika Selatan
(c) AFP

Bola.net - Bola.net - Sejak pertama kali digelar pada 1930, Piala Dunia garapan FIFA seolah menjadi ajang tarik tambang antara Eropa dan Amerika Selatan. Adu kuat negara-negara dari UEFA dan CONMEBOL ini juga menjadi indikasi bahwa pusat kekuatan sepakbola memang ada di dua benua tersebut, meski olahraga ini sangat populer secara global.

Ada banyak sekali trofi besar nan penting dalam sepakbola, tapi silahkan tanya kepada pemain mana pun, trofi tertinggi yang ada dalam impian mereka sudah pasti adalah trofi Piala Dunia. Hanya saja, sejauh ini, hanya negara-negara Eropa dan Amerika Selatan saja yang bisa meraih lambang supremasi sepakbola dunia tersebut.

Bukan cuma pemenangnya, bahkan para runner up turnamen ini juga selalu berasal dari Amerika Selatan atau Eropa. Negara-negara dari konfederasi lain sejauh ini belum bisa banyak menggoyang dominasi Amerika Latin dan Eropa di partai puncak Piala Dunia. Sepanjang sejarah, hanya Amerika Serikat dan Korea Selatan saja yang bisa menembus semifinal, melewati hadangan kekuatan tradisional yang sangat sulit dilewati.

Meski Eropa dan Amerika Latin juga punya rivalitas lokal yang sengit antar negara anggota mereka, tapi di Piala Dunia, ceritanya selalu persaingan antara dua konfederasi itu. Bila menilik tren yang ada, pergeseran kekuatan mulai mengarah ke Benua Biru. Eropa secara pasti menumpuk kekuatan mereka untuk merebut hegemoni di kancah dunia.

Sengit Sejak Awal

Eropa dan Amerika Selatan sudah tidak akur dalam hal sepakbola sejak awal digelarnya Piala Dunia. Pada 1938, Uruguay dan Argentina ngambek karena Piala Dunia digelar dua kali beruntun di Eropa, dan mereka pun memboikotnya. Saking marahnya publik Argentina, sampai ada kerusuhan di Buenos Aires dalam protes menentang keputusan FIFA itu.

Beberapa negara Eropa juga memboikot Piala Dunia Brasil 1950 karena berbagai alasan berbeda. Pada 1966, tim-tim Amerika Selatan secara kompak juga mengancam akan memboikot Piala Dunia Inggris karena mencurigai ada konspirasi wasit yang menguntungkan tim Eropa.

Persaingan kedua benua ini kerap menghasilkan pertandingan keras menjurus brutal. Di era modern, kekerasan dalam sepakbola sudah diredam dengan tegas, tapi dulunya seorang pemain tak banyak mendapatkan perlindungan dari wasit.

Di Piala Dunia yang 1938 Prancis, Italia menyingkirkan Brasil lewat penalti Giuseppe Meazza pada menit ke-60. Saat melakukan penalti itu, celana Meazza sudah robek sana-sini akibat terjangan keras para pemain Brasil sepanjang laga. Setelah penalti itu, Meazza pun terjatuh karena sudah mencapai ambang batas kekuatan fisiknya setelah dihajar para pemain Brasil.

Pada Piala Dunia 1962 Chile, banyak negara Eropa yang mengeluhkan kondisi infrastruktur dan fasilitas yang disediakan tuan rumah. Kecaman yang disampaikan dua jurnalis Italia terhadap tuan rumah menjadi dasar laga Battle of Santiago yang terkenal karena kekerasannya. Laga antara Chile melawan Italia ini menghasilkan dua kartu merah, para pemain adu jotos, hidung pemain patah, serta polisi yang harus menertibkan pertandingan empat kali.

Komentator olahraga legendaris BBC, David Coleman, mengutuk keras pertandingan tersebut. "Ini adalah pertunjukan paling bodoh, mengejutkan, menjijikkan, dan memalukan dalam sejarah sepakbola," komentar Coleman setelah menyaksikan tayang ulang pertandingan itu, beberapa hari setelah pertandingan.

Banyak Perbedaan

Persaingan dua poros sepakbola ini sepertinya disebabkan lebih dari sekadar perbedaan geografis. Ada aspek budaya, ekonomi, filosofi sepakbola, hingga berbagai hal irasional yang mengompori persaingan panas ini sejak sangat awal.

Faktor lain yang juga turut menyulut persaingan Eropa dan Amerika Selatan adalah perbedaan budaya yang memengaruhi gaya sepakbola. Dulunya Eropa dikenal sebagai benua dengan negara-negara kaya yang punya gaya sepakbola cukup kaku, punya taktik jelas, selalu terencana, dan seterusnya. Sementara itu, Amerika Selatan memiliki gaya sepakbola yang lebih bebas, lebih ekspresif, banyak menunjukkan skill-skill dewa para pemain mereka.

Contoh kecil perbedaan budaya pada awal persaingan kedua benua terlihat di Piala Dunia Prancis 1938. Pemain andalan Brasil, Leonidas sempat mencoba bermain tanpa sepatu karena lapangan Strasbourg sangat becek tergenang air hujan. Di Brasil, hal seperti itu dianggap wajar tetapi wasit di Strasbourg memaksakan agar Leonidas tetap memakai sepatunya.

Pada puncaknya, pada final Piala Dunia 1970 Meksiko, timnas Brasil yang dipenuhi para pemain bertalenta super bisa menghancurkan Italia yang dikenal sangat terorganisir. Tapi empat tahun berselang, Eropa kembali berkuasa dengan menempatkan tiga tim di peringkat tertinggi Piala Dunia 1974.

Tentu saja, saat ini generalisasi semacam itu sudah tak berlaku. Gaya sepakbola dan filosofi sepakbola kedua benua sudah berinteraksi sekian lama, saling belajar dari satu sama lain sehingga batas-batas itu mulai mengabur. Sepakbola indah ala Joga Bonito bukan lagi eksklusif milik Brasil, dan disiplin strategi bukan cuma milik tim-tim Eropa.

Eropa Masih Dominan

Sepanjang 20 gelaran Piala Dunia, delapan kali finalnya adalah antara dua tim Eropa, sementara duel antara dua tim Amerika Selatan di final hanya terjadi dua kali, terakhir pada tahun 1950! Dari 40 tempat di final, 26 di antaranya diisi tim Eropa sementara 14 sisanya diisi tim asal Amerika Selatan.

Bisa jadi naiknya dominasi Eropa di kancah dunia ini didasari pada fakta sederhana bahwa mereka memang lebih unggul secara geografis, dalam arti jumlah negara Eropa lebih banyak dan tim-tim yang dikirim ke Piala Dunia juga otomatis lebih banyak. Eropa (pernah) punya Jerman, Italia, Prancis, Inggris, Cekoslovakia, Spanyol, Hungaria, dan Belanda yang punya tradisi sepakbola kuat. Sementara di sebelah selatan, tim CONMEBOL yang bisa bicara banyak di Piala Dunia cuma Brasil, Argentina, dan Uruguay.

Secara keseluruhan, Eropa sudah meraih 11 gelar Piala Dunia sementara Amerika tertinggal dengan koleksi sembilan trofi. Memang tidak terpaut jauh, tapi jika melihat tren yang terjadi dalam beberapa Piala Dunia terakhir, maka Amerika Selatan pantas was-was.

Tiga piala Dunia terakhir seakan menjadi titik nadir bagi Amerika Selatan. Di Jerman dan Afrika Selatan, hanya Uruguay saja perwakilan Amerika Selatan yang sanggup menembus babak empat besar. Lalu di Piala Dunia Brasil 2014 lalu, tuan rumah mendapatkan aib paling memalukan sepanjang masa ketika dibantai Jerman dengan skor 1-7. Di rumah sendiri! Jerman bahkan bisa menjadi juara, mengalahkan Argentina di final. Ini adalah kali pertama tim Eropa bisa menjadi juara di tanah Amerika!

Waktunya Amerika Selatan Menyerang Balik

Dalam sekitar 60 tahun terakhir, hanya Argentina dan Brasil saja yang sanggup melayani keroyokan tim-tim Eropa yang datang silih berganti. Meski Brasil dan Argentina saling membenci dalam konteks sepakbola, tapi mereka juga saling bergandeng tangan melawan musuh yang lebih besar dari utara.

Tahun ini harusnya adalah tahun emas Lionel Messi sekaligus peluang terakhirnya untuk membawa Argentina juara dunia. Sementara itu, Brasil sedang on fire sejak dilatih Tite dan belum pernah terkalahkan dalam pertandingan kompetitif resmi.

Tapi Eropa terus meningkatkan kekuatan mereka. Didorong oleh perputaran uang yang sangat besar di kompetisi lokal dan Liga Champions, negara-negara Eropa bisa stabil membangun kekuatan timnas mereka secara domestik. Infrastruktur dan fasilitas untuk pengembangan pemain muda pun semakin canggih dan lengkap, memungkinkan munculnya generasi pemain-pemain berkualitas.

Kini Piala Dunia 2018 Rusia sudah di depan mata. Argentina dan Brasil melihat momen ini sebagai ajang untuk membayar lunas utang-utang mereka kepada Eropa yang semakin lama semakin dominan. Jika bisa juara di Luzhniki Stadium nanti, maka Amerika Selatan bisa dengan bangga menepuk dada, merebut kembali harga diri mereka yang dirampas empat tahun silam. Mereka sudah punya modal untuk melakukannya dengan pemain dan pelatih kelas dunia di tim masing-masing.