EDITORIAL: Sisi Kelam Gemerlap Piala Dunia (II)

EDITORIAL: Sisi Kelam Gemerlap Piala Dunia (II)

Bola.net - - Oleh: Dendy Gandakusumah

Mudik ke Brasil, kala Piala Dunia diselenggarakan di Tanah Sepakbola itu, tak membuat hati Jacksen Tiago tergerak menyaksikan  langsung ajang sepakbola terakbar di kolong langit tersebut. Tentu, bukan mahalnya harga tiket yang menjadi persoalan bagi Pelatih Persipura Jayapura ini.

Berstatus sebagai salah satu pemain asing dan kini pelatih paling sukses di Indonesia, pundi-pundi tabungan Jacko -sapaan karib Jacksen- tentulah lebih dari cukup. Sebuah apartemen dan rumah di salah satu penjuru Rio de Janeiro , juga mobil yang siap mengantar ke manapun, menjadi bukti sukses pria yang kini berusia 46 tahun tersebut.

"Saya lebih memilih nonton di rumah saja, Bigman," ujar Jacko. "Saya lebih suka menonton bersama keluarga," imbuhnya.

Tak hanya Jacksen. Sebagian besar warga Brasil juga bakal menikmati Piala Dunia kali ini melalui pesawat televisi mereka. Namun, berbeda dengan Jacksen, mereka tak memiliki uang membeli tiket dan menonton langsung di stadion-stadion megah, yang dibangun dan dipoles hanya untuk gelaran Piala Dunia ini.

Sepanjang gelaran ini, FIFA telah menyiapkan tiga juta lembar tiket. Sejuta di antaranya dijual di Brazil dengan harga rata-rata US$ 100. Sementara, dua juta lembar sisanya dibagi antara FIFA dan asosiasi-asosiasi sepakbola di seluruh dunia.

Selain itu, FIFA telah mengalokasikan 300 ribu lembar tiket khusus -yang dijual dengan harga US$ 25 per lembar- untuk dijual di Brazil. Federasi sepakbola dunia ini juga menyiapkan 100 ribu lembar lainnya untuk dibagi pada warga pribumi dan kaum papa lainnya.

Namun, meski telah ada kebijakan khusus dari FIFA, sebagian besar warga Brasil masih tak mampu membeli tiket. Harga tiket yang rata-rata mencapai US$ 100 per lembarnya tak terjangkau bagi sebagian besar warga Brasil.

Meski menurut data pada tahun 2013 pendapatan rata-rata per kapita masyarakat Brasil mencapai Rp 12 juta, tingkat kesenjangan mereka juga tinggi. Sesuai data Bank Dunia, Indeks GINI Brasil mencapai 54,7.

Salah satu bukti tingginya kesenjangan di Brasil adalah kehidupan keseharian Carlo Braguette. Bersama 130 ribu orang lainnya, dia merupakan penghuni Complexo do Alemao. Favela -sebutan bagi pemukiman kumuh di Brazil- ini adalah yang terbesar di Rio de Janeiro.



Satu dari lima orang Brasil tinggal di favela-favela yang tersebar di penjuru negerI. Di Rio de Janeiro sendiri terdapat tak kurang dari seribu.

Setiap bulan, Carlo hanya mendapat R$ 800 -sekitar Rp 4 juta- dari pekerjaannya sebagai petugas kebersihan di sebuah rumah sakit yang berada dekat dengan favela-nya. Dengan pendapatan sebesar ini, dia harus menghidupi seorang istri dan dua putri kembarnya.

"Kehidupan di sini sangat mahal. Kami kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagaimana mungkin lagi kami bisa bermimpi melihat Piala Dunia?" ujar pria 22 tahun ini, seperti dilansir BBC.

Nasib lebih malang dilakoni Jucelio de Souza. Buruh bangunan ini hanya mendapat R$ 500 -sekitar Rp 2,5 juta- dari pekerjaannya di bidang konstruksi. Dari penghasilannya itu, pria 36 tahun ini, harus menyisihkan R$ 190 -sekitar Rp 950 ribu- untuk sewa rumah di Complexo do Lins, salah satu favela di Rio de Janeiro. Sementara, sisa gajinya, harus cukup dipakai menghidupi istri beserta lima anak-anaknya selama sebulan.

"Piala Dunia? Saya tak peduli. Itu hanya bagi orang kaya di Aspal -julukan bagi wilayah elit Brasil karena mulusnya aspal jalanan kawasan-kawasan tersebut," ujarnya.

Getirnya kenyataan ini mengundang protes, termasuk dari salah satu legenda sepakbola Brasil Romario. Pria yang kini menjadi pegiat Partai Sosialis Brasil ini mengaku kesenjangan di negerinya bakal kian lebar dengan adanya Piala Dunia ini.


Romario turut prihatin dengan kesenjangan yang ada di Brasil. (c) DailyMirror

"Banyak golongan yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk ikut menikmati secara langsung Piala Dunia ini. Mereka akan tersingkirkan dari kemeriahan gelaran ini," kritik pria di balik sukses Brasil menjuarai Piala Dunia 1994 ini.

Pernyataan lebih keras dilontarkan Christopher Gaffney. Profesor di program pascasarjana Fluminense Federal University ini malah mempertanyakan siapa yang bakal paling diuntungkan dari adanya Piala Dunia kali ini.

"Seharusnya, pemerintah lebih baik fokus ke proyek yang menjangkau orang banyak, seperti perbaikan layanan kesehatan, pendidikan dan lainnya," dia menandaskan.