
Bola.net - - Oleh: Dendy Gandakusumah
Tak ada yang meragukan idealisme Iskandar. Tokoh utama di film 'Lewat Jam Malam' ini merupakan salah seorang yang berada di garis depan membela Merah Putih sampai Indonesia memproklamasikan kemerdekaan.
Sayang, bagi tokoh yang diperankan dengan apik oleh Ahmad Nungcik Alcaff ini, peperangan sesungguhnya justru dimulai ketika cita-cita Indonesia merdeka telah menjadi kenyataan. Keluar dari ketentaraan, Iskandar memulai kehidupan baru sebagai warga sipil.
Sayang kemerdekaan, yang selama ini diperjuangkan, tak seperti impian kekasih Norma tersebut. Korupsi merajalela di mana-mana. Bahkan, mantan komandannya di front, Gunawan, telah bersalin rupa menjadi seorang kontraktor korup. Masa itu, institusi negara belum lagi terbentuk sempurna.
Kenyataan demi kenyataan ini membuat mimpi dan harapan Iskandar terhempas dan berkeping. Apa yang menjadi idealisme selama di front berubah menjadi 'racun' yang membuatnya kian tertekan. Maklumlah, sebagai pejuang, dia tak biasa mengenal abu-abu. Baginya, yang ada hanyalah hitam dan putih.
Evan Dimas Darmono dan kawan-kawan bukanlah Iskandar. Namun, siapa bisa menampik para penggawa Timnas U-19 itu merupakan pejuang-pejuang 'yang baru turun ke kota usai meraih kemenangan gemilang di front'?

Sebagai pejuang, hanya ada dua hal yang selama ini diketahui Skuat Garuda Jaya. Berlatih keras dan mengeluarkan kemampuan terbaik di setiap pertandingan. Urusan lain, biar diurus tim pelatih. Sosok Indra Sjari, yang berhasil mencangkokkan idealisme di diri anak asuhnya, juga menjadikan dunia para penggawa Garuda Jaya kian ideal. Paduan ini semua membuat mereka tampil percaya diri dan perkasa di setiap laga.
Sayang, kejayaan mereka bak pisau bermata dua. Mereka kini harus menghadapi perjuangan dan pergolakan batin, yang juga pernah dirasakan Iskandar -dan jutaan pejuang lainnya. Idealisme mereka, yang ditanam dan dipupuk bersama setiap hari, harus dihadapkan dengan sesuatu bernama 'kenyataan'.
Adalah sebuah kenyataan ketika sepakbola Indonesia saat ini jauh dari yang dinamakan ideal. Kompetisi yang bisa diatur semaunya, profesionalisme yang bisa diartikan semau penguasa -baik penguasa federasi atau petinggi klub-, sampai politisasi yang sedemikian masif, adalah hal-hal yang mengancam idealisme anak-anak muda ini.
Sebuah kenyataan pula apabila saat ini Evan Dimas , Muchlis Hadi Ning, Ilham Udin Armaiyn, Maldini Palli atau Ravi Murdianto bukan lagi remaja pecinta bola biasa. Mereka telah (diposisikan) menjadi selebrita. Ujung mikropon maupun moncong lensa media mengarah ke manapun mereka pergi. Setiap kata atau gambar mereka telah berubah memiliki nilai berita.
Para pemain idealis -yang selama ini diajari siap menang- tentu akan terkejut menghadapi iklim siap kalah dalam sebuah ajang yang (seharusnya) bertajuk kompetisi. Mereka juga pasti akan kaget mengetahui bahwa, di Indonesia, menjadi sosok pemain profesional berarti menerima kontrak tapi belum tentu dibayar.
Kenyataan-kenyataan macam ini yang bisa jadi membuat idealisme mereka kian tak berarti. Gempuran demi gempuran ini sangat mungkin merobohkan dan menggerus kepercayaan diri mereka, yang sangat mungkin berujung pada rasa frustasi.
Tentu saja, kita tak ingin perjalanan para pejuang belia ini berakhir tragis, seperti kematian Iskandar -usai membunuh Gunawan- di penghujung film Lewat Jam Malam. Masih panjang perjalanan Skuat Garuda Jaya dalam menapaki karir mereka. Masih selebrasi sujud syukur mereka di lapangan yang ingin kita saksikan.
Berharap pada negara untuk melindungi pemuda-pemuda terbaik mereka adalah sia-sia belaka. Bahkan, mereka tak pernah hadir ketika anak-anak kampung ini ditempa menjadi sosok-sosok pria yang membuat berkibarnya Merah Putih menjadi lebih gagah.
Menaruh asa pada federasi juga bukan hal yang berguna. Toh, sekadar memberi perhatian juga pengakuan yang layak saja mereka tak sanggup. Apalagi untuk menghargai perjuangan anak-anak muda itu lebih dari sekadar melalui kata-kata klise atau janji-janji guyuran materi. Lagi pula, bapak-bapak di sana nampaknya lebih tertarik beradu otot leher di meja-meja kongres ketimbang mengurusi hal tersebut.
Lalu, siapakah yang harus merawat dan melindungi tunas-tunas muda Indonesia ini? Simpel saja jawabannya, kita semua. Kita -menurut istilah Sujiwo Tejo- telah 'berutang rasa' pada mereka. Perjuangan mereka -berpeluh dan berdarah-darah di lapangan- membuat kita lebih bangga dan terharu ketika menyanyikan Indonesia Raya.
Mau tak mau kita harus mampu. Evan Dimas, Putu Gede Juni Antara, Hansamu Yama Pranata, Zulfiandi, Hargianto, Hendra Sandi Guanawan, Paulo Oktavianus dan kawan-kawan adalah gambaran diri kita sendiri sebagai sebuah bangsa. Mimpi dan idealisme mereka adalah mimpi yang kita pernah punya juga. Mereka adalah kita. Kalau menjaga diri dan mimpi sendiri sudah tak mampu, apa lagi yang kita mampu?
Advertisement
Berita Terkait
-
Tim Nasional 15 Oktober 2013 01:21
-
Tim Nasional 14 Oktober 2013 13:40
-
Tim Nasional 13 Oktober 2013 19:50
Tiga Gol Evan Dimas ke Gawang Korsel Sesuai Prediksi M.Raihan
-
Bolatainment 13 Oktober 2013 18:15
-
Tim Nasional 13 Oktober 2013 18:02
LATEST UPDATE
-
Piala Eropa 23 Maret 2025 16:17
-
Tim Nasional 23 Maret 2025 16:16
-
Tim Nasional 23 Maret 2025 15:53
-
Otomotif 23 Maret 2025 15:53
-
Otomotif 23 Maret 2025 15:52
-
Otomotif 23 Maret 2025 15:51
MOST VIEWED
HIGHLIGHT
- 5 Pemain Gratisan yang Bisa Direkrut Manchester Un...
- Di Mana Mereka Sekarang? 4 Pemain 17 Tahun yang Pe...
- 7 Eks Pemain Real Madrid yang Bersinar di Tempat L...
- 10 Opsi Striker untuk Man United: Solusi Ruben Amo...
- 5 Pemain yang Pernah Membela PSG dan Liverpool
- 7 Mantan Rekan Setim Cristiano Ronaldo yang Pernah...
- Di Mana Mereka Sekarang? 5 Pemain yang Diminta Pau...