EDITORIAL: Evan Dimas; Balada Serdadu, Pahlawan dan Narapidana

EDITORIAL: Evan Dimas; Balada Serdadu, Pahlawan dan Narapidana

Bola.net - -
Oleh: Dendy Gandakusumah

Kami adalah serdadu yang paling depan berjuang demi membela nama persepakbolaan Indonesia, walau dengan persenjataan minim. Ketika kami gagal, masyarakat tidak akan pernah mau tahu alasan apapun. Mereka hanya tahu kami pesakitan perang yang pantas dicaci-maki tanpa mau tahu titik permasalahan sebenarnya. Seperti seorang narapidana yang diseret ke terali besi (Bambang Pamungkas - Serdadu dan Narapidana)

Evan Dimas tidaklah gagal. Serdadu Timnas U-19 ini bahkan meraih kemenangan gilang gemilang dalam pertempuran. Dahaga gelar republik ini lebih dari dua dekade berhasil dipuaskan. Namun, hal ini tak mengubah jalan nasibnya. Meski menjadi pahlawan, Evan tetaplah didapuk sebagai pesakitan.

Bagi Evan, bermain sepakbola adalah satu-satunya keinginan. Sementara, menjadi penggawa Persebaya 1927 merupakan cita-cita arek kelahiran Surabaya, 13 Maret 1995 ini. Bagi Evan -arek Sambikerep ini- Bajul Ijo adalah klub yang dia cintai sejak kecil.

Sayang, cita-cita anak sulung dari empat bersaudara ini harus kandas. Cita-citanya berkostum Persebaya 1927 tersandera pertarungan 'politik'. Persebaya 1927, klub yang dicita-citakan Evan, tak dianggap sebagai anggota oleh . Alhasil, alih status playmaker Skuad Garuda Jaya -julukan Timnas U-19- ini terganjal.

Balada Evan ini sedikit banyak mirip dengan kisah Rambo. Mereka sama-sama dikirim untuk berjuang membela nama bangsa, namun ketika mereka kembali ke tengah lingkungannya, mereka diasingkan karena perubahan arah angin politik. Rambo pulang ketika angin perubahan anti Perang Vietnam mulai merebak di Amerika, sementara Evan harus menghadapi perubahan rezim di PSSI.

Namun, Evan bukan Rambo. Ketika Rambo akhirnya bisa memaksa masyarakat dan para politisi untuk melihat getir perjuangannya di medan laga, anak sulung Condro Darmono dan ini memilih untuk diam. Evan diam dan memilih untuk fokus membela nama bangsa, yang melalui salah satu aparatusnya, telah mencampakkan impiannya. Sebuah sikap yang menegaskan jiwa kepahlawanannya.

PSSI boleh saja berargumen panjang lebar mengenai status Persebaya 1927. Otoritas sepakbola Indonesia ini juga sah-sah saja mengklaim klub ini tak memiliki legalitas. Paling tidak, itu yang selama ini digembar-gemborkan orang-orang pintar yang duduk di kepengurusan organisasi itu.

Namun, yang jelas saat ini sebuah mimpi dan cita-cita sedang dibunuh secara perlahan. Selain itu, tak memerlukan orang pintar untuk memahami lagi kalimat; "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya."

Sementara, mengenai segala'omong kosong' status dan legalitas tadi, bisalah kita mengucap masa bodoh. Toh, tafsir mengenai legalitas dan status hukum masih bisa diperjualbelikan juga dinegosiasikan dan kerap berujung tawar-menawar, "Wani piro?"