
Bola.net - - Prestasi Indonesia di sektor olahraga bisa dibilang sangat memprihatinkan. Pada SEA Games 2015 di Singapura lalu, kontingen Indonesia menempati posisi kelima, di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan tuan rumah. Posisi yang sama sekali tak bisa dibanggakan bagi negara berpenduduk mendekati 300 juta ini.
Pada ajang Asian Games 2018, yang akan dihelat mulai 18 Agustus sampai 2 September 2018, nasib Indonesia sepertinya masih akan sama. Kendati berstatus tuan rumah, target untuk menembus peringkat 10 Besar bakal tinggal sekadar harapan. Kecuali, panitia pelaksana di Indonesia cukup cerdik untuk memperbanyak cabang-cabang olahraga yang paling besar peluangnya dimenangi atlet Indonesia. Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki kans besar mengusulkan tambahan sejumlah cabang olahraga. Tanpa trik tersebut, target hanya akan menjadi target belaka.
Tak hanya di sektor prestasi, dalam sektor industri pun, saat ini olahraga Indonesia bernasib malang. Sektor ini belum menampilkan wajah yang cukup menarik minat investor dan sponsor. Sejumlah investor menilai industri olahraga masih semrawut. Karenanya, terasa wajar jika sejumlah brand besar Indonesia macam Garuda Indonesia, BNI 1946, Bank Danamon, Pertamina, Asuransi Jiwasraya dan sejumlah korporasi besar lain justru lebih memilih mendukung sejumlah klub sepakbola di Eropa ketimbang mendukung klub-klub Tanah Air.
Semua situasi ini bermuara pada satu kata: Mengapa?
Olahraga dan Politik
Olahraga di Indonesia, sesuai Sistem Keolahragaan Nasional, merupakan bidang garapan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Dari nomenklaturnya, bisa dilihat bahwa kementerian ini merupakan wakil negara yang bertanggung jawab terhadap birokrasi negara di sektor kepemudaan dan keolahragaan.
Dalam mengelola urusan kepemudaan, Kemenpora harus berurusan dengan banyak organisasi kepemudaan, yang mayoritas aktif di pusaran aktivitas politik praktis. Karenanya, tak janggal jika ritme birokrasi di institusi ini kental dengan ritme politis, menyesuaikan diri dengan bidang garapan mereka.
Celakanya, urusan kepramukaan juga berada di bawah koordinasi institusi ini.
Dalam urusan keolahragaan, sulit dipahami kala ritme pengelolaannya politis. Pun demikian ketika olahraga dikelola sebuah lembaga birokrasi negara yang ritmenya politis.
Pada era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden , keterlibatan negara pada olahraga tak berbeda dengan saat ini. Namun, waktu itu, penguasa politik dan birokrasi negara memberi perhatian khusus pada sektor olahraga.
Waktu itu, untuk menjadi Ketua KONI dan beberapa federasi cabang olahraga tertentu, seseorang harus mendapat restu dari “Istana”. “Istana” akan memberi target tertentu, dan tak lupa dukungan tertentu pula. Salah satu bentuk dukungannya adalah karir di bidang politik atau birokrasi. Situasi ini sulit dipahami dalam bingkai kacamata saat ini. Namun, waktu itu, cara tersebut lumayan efektif menunjang raihan prestasi olahraga Indonesia.
Saat ini, penguasa politik dan birokrasi negara punya cara pandang dan pola kebijakan berbeda. Jika tak ingin disebut tak ada lagi, keistimewaan bagi pelaku birokrasi keolahragaan di negeri ini bisa dikatakan tak banyak.. Pemimpin negeri ini menghendaki pelaku lapangan di sektor olahraga harus siap menjadi profesional di bidangnya masing-masing.
Namun, asa para pemimpin negeri ini bak jauh panggang dari api. Kenyataannya, sampai saat ini, teknis birokrasi keolahragaan masih dalam ritme politis. Entah sudah menjadi kebiasaan, atau bahkan menjadi kultur, sampai saat ini banyak kita lihat politisi dan pejabat birokrasi Indonesia yang terlibat dalam pengelolaan birokrasi sektor olahraga. Selain itu bidang keolahragaan ini masih berada di bawah pengelolaan lembaga negara, yang juga mengelola urusan kepemudaan, yang bernuansa politis.
Jauhkan Olahraga dari Politik
Sesuai kehendak pemimpin negeri ini agar tata kelola olahraga berlangsung dan dikelola profesional, alangkah baiknya jika hal-hal yang bernuansa politis dijauhkan dari olahraga. Mulai dari kepentingan, kepengurusan induk cabang olahraga sampai pada pengelolaan birokrasi lapangan harus dikelola professional.
Pada era ini, sudah waktunya sektor olahraga dikelola secara profesional, seperti negara coba mengelola beberapa sektor seperti pariwisata, transportasi, telekomunikasi.
Pengelolaan sistem keolahragaan nasional menggunakan ritme politis adalah bencana. Spirit pengelolaan sistem keolahragaan di negeri ini harus mulai dikobarkan sesuai dengan spirit olahraga, yakni: sportivitas. Bukan kepentingan.
Negara memang tetap harus hadir untuk mengelola sistem keolahragaan nasional. Kehadiran negara perlu demi menjaga pengelolaannya agar berlangsung sesuai dengan visi misi negara, dan demi mendukung agar prestasi, sesuai yang diharapkan, bisa tercapai. Namun, negara wajib mengarahkan tata kelola olahraga pada iklim yang professional, Jika ada cabang olahraga yang kemudian bisa dikemas menjadi sebuah industri, maka peluang menjadikannya industri yang kondusif dan sehat akan jauh lebih besar.
Salam Olahraga !
Heru Nugroho
Catatan: Penulis adalah Sekretaris Jendral di Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) [initial]
Advertisement
Berita Terkait
-
Editorial 9 Februari 2018 15:02
5 Kesalahan Terbesar Conte Yang Bisa Membuatnya Dipecat Chelsea
-
Editorial 9 Februari 2018 13:06
-
Editorial 9 Februari 2018 11:28
-
Editorial 9 Februari 2018 10:40
Lupakan Lemar, Inilah 5 Calon Pengganti Coutinho di Liverpool
-
Editorial 9 Februari 2018 09:52
LATEST UPDATE
-
Liga Inggris 22 Maret 2025 20:48
-
Liga Inggris 22 Maret 2025 20:40
-
Liga Inggris 22 Maret 2025 20:28
-
Tim Nasional 22 Maret 2025 20:18
-
Liga Inggris 22 Maret 2025 20:06
-
Tim Nasional 22 Maret 2025 19:57
MOST VIEWED
HIGHLIGHT
- 5 Pemain Gratisan yang Bisa Direkrut Manchester Un...
- Di Mana Mereka Sekarang? 4 Pemain 17 Tahun yang Pe...
- 7 Eks Pemain Real Madrid yang Bersinar di Tempat L...
- 10 Opsi Striker untuk Man United: Solusi Ruben Amo...
- 5 Pemain yang Pernah Membela PSG dan Liverpool
- 7 Mantan Rekan Setim Cristiano Ronaldo yang Pernah...
- Di Mana Mereka Sekarang? 5 Pemain yang Diminta Pau...