Dario Hubner, Bison Tua Yang Mengacak-acak Persepakbolaan Italia

Dario Hubner, Bison Tua Yang Mengacak-acak Persepakbolaan Italia
(c) ist

Bola.net - Bola.net - Musim 2001/02 adalah salah satu musim di mana Serie A dihuni sederet bek tangguh dan penyerang yang mematikan. Musim itu, secara mengejutkan, Dario Hubner menyabet gelar Capocannoniere sebagai pencetak gol terbanyak bersama David Trezeguet (Juventus) dengan torehan gol masing-masing 24.

Hubner, memiliki nama julukan Tatanka (sejenis Bison), melakukannya bersama klub sekelas Piacenza dan di usia 35.

Tak jarang, seseorang butuh waktu sangat lama untuk mencapai potensi terbaiknya. Namun dalam diri manusia tak ada yang namanya deadline untuk itu, kecuali kematian.

Itulah yang terjadi pada Hubner, dalam kariernya yang penuh liku sebagai pesepakbola profesional selama periode 1967-2005.

Dari periode tersebut, musim 2001/02 bisa dibilang sebagai titik puncak bagi Hubner. Bersaing dengan penyerang-penyerang berkelas semacam Andriy Shevchenko, Christian Vieri, Alessandro Del Piero, Vincenzo Montella hingga Hernan Crespo, yang mampu mengacak-acak barisan pertahanan tangguh di ranah Serie A, Hubner finis sebagai pencetak gol terbanyak. Hanya Trezeguet yang mampu menyamainya.

Hubner lahir di Muggia, Italia pada 20 April 1967. Seiring berjalannya waktu, dia terbentuk menjadi seorang striker oportunis dengan penyelesaian akhir akurat, baik dengan kaki kiri, kanan, kepala, maupun dari titik penalti.

Hubner mengawali karier pada musim 1987/88 di Pievigina, di Interregionale (Serie D), mencetak 10 gol. Dia kemudian memperkuat Pergocrema (1988-89), Fano (1989-92) di Serie C, dan Cesena (1992-97) di Serie B. Hubner menjadi top scorer Serie C musim 1991/92 dengan 14 gol dan top scorer Serie B musim 1995/96 dengan 22 gol.

Menyusul terdegradasinya Cesena ke Serie C pada 1997, Hubner pindah ke yang baru promosi ke Serie A. Dia melakoni debut di kasta tertinggi Italia di usia 30-an.

Debut Hubner di Serie A adalah laga tandang melawan Inter Milan pada giornata pembuka musim 1997/98. Waktu itu, hampir tak ada yang peduli tentang Hubner dan Brescia.

Waktu itu, perhatian terfokus pada satu orang, yaitu Ronaldo yang baru memecahkan rekor transfer untuk gabung Inter dari Barcelona. Semua ingin melihat pemain terbaik dunia asal Brasil itu menginjakkan kaki di lapangan Serie A untuk pertama kalinya.

Inter mengharapkan kemenangan meyakinkan atas tim promosi Brescia demi mengirim pesan kepada para rival bahwa mereka serius ingin meraih Scudetto untuk pertama kalinya setelah puasa sembilan tahun. Semua tidak berjalan sesuai rencana.

Serie A bukan La Liga, dan Brescia bukan Compostela. Ronaldo langsung merasakannya. Dia dijaga ketat, dan sang pendatang baru tak membiarkannya begitu saja masuk ke dalam kotak penalti mereka.

Babak kedua pun sama. Inter meningkatkan tekanan untuk mencetak gol, tapi seiring waktu, mereka dibuat semakin frustrasi. Pada menit 73, justru Brescia yang mampu mencuri gol pertama. Seorang pemain muda bernama Andrea Pirlo, yang dimasukkan setelah jeda, mengirim sebuah operan terukur dari sektor tengah kepada Hubner di dalam kotak penalti Inter. Membelakangi gawang, Hubner langsung melepas tendangan memutar dan menaklukkan Gianluca Pagliuca. Publik Giuseppe Meazza terdiam.

Inter nyaris melalui start buruk, tapi beruntung mereka juga punya 'permata' di bangku cadangan. Alvaro Recoba masuk dan mencetak dua gol spektakuler untuk membawa Inter berbalik menang 2-1. Recoba jadi bintang. Cukup menyedihkan bagi Hubner, hanya sedikit yang mengingat golnya hari itu.

Meski demikian, musim itu, Hubner mampu membuktikan kapasitasnya. Hubner memang tak memiliki kecepatan maupun kemampuan untuk melewati lawan dengan dribel, dan work-rate tanpa bolanya pun tak meyakinkan, tapi tidak ada yang bisa membantah insting gol sang bison di dalam kotak penalti lawan.

Dia tahu kapan waktu yang tepat untuk berlari ke belakang lini pertahanan lawan, lalu menyelesaikan peluang. Berduel lelawan bek-bek tangguh semacam Paolo Maldini, Lilian Thuram, Fabio Cannavaro, Alessandro Nesta, Paolo Montero hingga , tak jarang Hubner keluar sebagai pemenang.

Hubner mencetak 16 gol, tapi itu tak cukup untuk menghindarkan tim muda penuh talenta Brescia dari degradasi.

Dua musim di Serie B, Hubner mencetak total 42 gol dan membawa Brescia kembali ke Serie A untuk musim 2000/01. Belajar dari pengalaman, Brescia menyuntikkan pengalaman pada skuatnya. Brescia sukses mengamankan jasa penyerang imajinatif Italia, Roberto Baggio.

Banya orang menganggap kalau Hubner dan Baggio sudah habis waktu itu. Mereka salah. Dengan dukungan Pirlo sebagai konduktor di tengah, Hubner dan Baggio mencetak total 27 gol untuk Brescia. Brescia finis di posisi tertinggi sepanjang sejarah, peringkat tujuh dan lolos ke Piala Intertoto.

Itu adalah musim terakhir Hubner bermain bersama Il Divin Codino di Brescia. Hubner sadar kalau waktunya di Brescia sudah habis, dan dia harus memberi jalan kepada Luca Toni muda.

Di usia 34, Piacenza menawari Hubner untuk bergabung dengan mereka. Brescia merasa itu adalah waktu yang tepat untuk melepasnya. Brescia salah besar.

Musim berikutnya, dengan seragam Piacenza, Hubner menunjukkan performa terbaik dalam kariernya. Hubner mengacak-acak barisan pertahanan tim di seluruh negeri, finis sebagai joint top scorer bersama Trezeguet dengan 24 golnya (6 penalti), dan membantu Piacenza bertahan di Serie A.

Di usia 35, Hubner menjadi peraih Capocannoniere tertua di Serie A - sebuah rekor yang baru bisa dipatahkan oleh Luca Toni di usia 38 pada tahun 2015.

Ketajaman Hubner mencuri perhatian pelatih timnas Italia, Giovanni Trapattoni. Publik ingin melihat Hubner memakai seragam Azzurri di Piala Dunia 2002, tapi Trapattoni tak terpengaruh oleh besarnya tekanan tersebut. Itu bisa dipahami, karena saat itu Trapattoni sudah punya pemain-pemain seperti Francesco Totti, Filippo Inzaghi, Vincenzo Montella, Alessandro Del Piero, Christian Vieri dan Marco Delvecchio di skuatnya.

Secara mengejutkan, AC Milan mengundang Hubner untuk ikut tur ke Amerika pada musim panas itu. Hubner ikut, tapi tak pernah sampai menandatangani kontrak dengan Milan.

Hubner punya kebiasaan yang sulit dihilangkan, yakni merokok dan minum grappa (minuman beralkohol Italia). Dia bahkan merokok di bangku cadangan ketika masih memperkuat Brescia. Kebiasaan buruk itulah yang memengaruhi keputusan pelatih Milan Carlo Ancelotti. Sementara itu, peran pemain pelapis tentu tidak cocok untuk Hubner di penghujung karier ini.

Hubner kembali ke Piacenza dan mencetak 14 gol di musim impresif lainnya.

Sepakbola adalah sesuatu yang sangat berharga bagi Hubner. Itu membuatnya sulit untuk pensiun. Setelah selesai di Piacenza, dia lalu pindah ke Perugia, Mantova, dan sejumlah tim level bawah, serta klub-klub amatir.

Hubner akhirnya pensiun di usia 44 sebagai satu dari dua pemain (selain Igor Protti) yang pernah menjadi pencetak gol terbanyak di tiga divisi top Italia.

Dario 'Tatanka' Hubner. Dia adalah bison yang pernah mengacak-acak persepakbolaan Italia.