
Bola.net - Bola.net - Oleh: M. Syafaruddin
"Saya pikir menjadi lebih kecil dari yang lain membuat saya lebih cepat dan lincah, dan itu membantu saya ketika bermain sepakbola." Itu adalah sepenggal komentar Lionel Messi dalam buku biografinya yang ditulis oleh Guillem Balague pada tahun 2014 lalu. Messi memang memiliki postur mungil untuk ukuran pesepakbola. Hanya 170 cm saja. Namun dengan postur kecilnya itu, La Pulga bersanding dengan Cristiano Ronaldo sebagai duo seniman bola terhebat dewasa ini.
Secara postur, Messi memang tidak memiliki modal yang bagus untuk menjadi seorang pesepakbola hebat dunia. Apalagi ia berkarir di Benua Eropa yang disesaki oleh pesepakbola tinggi besar. Dengan tubuh yang kecil, tak sedikit yang menilainya tak mampu menghadapi hadangan fisik dari pemain lain. Apa yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Bapak dua anak ini menganggap kekurangannya sebagai suatu kelebihan.
Advertisement
Rata-rata pesepakbola di Indonesia juga memiliki tinggi yang hampir sama dengan Messi. Boaz Salossa misalnya. Striker haus gol milik Persipura Jayapura ini hanya setinggi 172 cm. Tinggi badan talenta muda asal Kota Pahlawan, Evan Dimas cuma 167 cm. Apalagi Andik Vermansyah. Penggawa Selangor FA ini hanya memiliki tinggi badan 164 cm. Meski demikian, postur kecil rupaya tak menghambat mereka berkembang menjadi pesepakbola berkualitas. Meski pun sampai dengan saat ini kehebatannya baru sebatas level Asia Tenggara saja.
Pertanyaannya, dengan tinggi yang kurang lebih sama, mengapa pesepakbola Indonesia belum bisa menggapai level dunia seperti Messi?
Saya pernah berbincang dengan salah satu kawan jurnalis bekerja di majalah basket ternama di Indonesia. Ia memaparkan tentang perbedaan antara pesepakbola dengan pebasket yang ada di Indonesia. "Kalau pemain basket, ketika masuk ke toko olahraga, dia akan tanya merek atau model sepatu terbaru. Berapapun harganya, mereka pasti beli," katanya. Ia melanjutkan, "Kalau pemain bola pertanyaannya beda lagi. Mereka akan tanya berapa diskon untuk model sepatu yang mereka inginkan, atau bertanya mana sepatu yang termurah."
Statement tersebut memang menimbulkan kesan mendiskreditkan salah satu pihak. Sangat kontroversial dan akan mengundang perdebatan, atau mungkin bantahan dari kalangan pesepakbola. Tapi pernyataan tersebut cukup logis dan menggambarkan latar belakang, khususnya ekonomi, dari kedua olahragawan tersebut. Di Indonesia, pebasket biasanya lahir dari kalangan keluarga menengah ke atas. Jika sudah pensiun, mereka akan meneruskan bisnis keluarga atau membikin sebuah bisnis baru.
Sebaliknya, pesepakbola di Indonesia kebanyakan lahir dari kalangan menengah ke bawah. Tak susah mengambil contoh kok. Kedua orang tua Andik Vermansyah pernah bekerja sebagai kuli bangunan dan buruk jahit. Evan Dimas dibesarkan oleh orang tua yang bekerja sebagai satpam perumahan dan buruh cuci baju. Messi pun demikian. Ayahnya, yakni Jorge Horacio Messi adalah pekerja di sebuah pabrik baja. Sedangkan ibunya, Celia Maria Cuccittini adalah petugas kebersihan paruh waktu.
Pertanyaannya masih sama, dengan latar belakang keluarga serta ekonomi yang kurang lebih sama, mengapa pesepakbola Indonesia belum bisa menggapai level dunia seperti Messi?
Andik Vermansyah, salah satu kawan baik saya di lapangan hijau, pernah berkisah tentang perjuangannya sebagai pesepakbola yang cukup memilukan. Andik pernah menjadi penjual es lilin di Stadion Gelora 10 Nopember. Sepatu bola pertamanya adalah sepatu bekas yang dibeli di emperan Jalan Ngaglik Surabaya dengan cuma Rp 25 ribu saja. Boleh dikata, karier sepakbolanya yang cemerlang tak didapat dengan mudah. Ia butuh perjuangan hebat untuk menjadi seorang Andik Vermansyah yang kita kenal saat ini.
Bagaimana dengan Messi? Ketika masih membela Newell's Old Boys di usia 9 tahun, ia kerap memamerkan pertunjukan bak seorang anggota sirkus. Direktur klub sering kali memintanya untuk melakukan trik keepy-uppy, yakni mengangkat bola dengan kaki untuk kemudian menahannya di kepala selama beberapa saat. Dengan memamerkan trik itu, Messi mendapatkan sejumlah uang koin. Orang-orang di tepi lapangan akan melemparkan koin kepadanya. "Di Peru, saya pikir ia mendapatkan tak kurang dari 1.200 keping. Kala itu ia masih berusia 9 tahun," kata pelatih Messi di Newell's, Gabriel Digeralami.
Jika Andik Vermansyah harus berkejaran dengan laju taksi untuk mengasah kecepatannya, Messi harus menempuh perjalanan 10.000 kilometer jauhnya menuju Barcelona yang rela membayar semua biaya perawatan atas penyakit yang diderita. Berada di Spanyol sempat membuatnya tak betah. Godaan untuk pulang ke Argentina Begitu besar. Apakah Messi menyerah? Tidak. "Saya ingin tinggal, saya ingin bermain sepakbola di Barcelona dan saya ingin bermain di tim utama Barcelona," tutur seorang Messi yang kala itu masih berusia 13 tahun.
Pertanyaannya tetap sama, dengan perjuangan meraih sukses yang sama-sama kerasnya, mengapa pesepakbola Indonesia belum bisa menggapai level dunia seperti Messi?
Siapa yang bisa menjawab tiga pertanyaan di atas? Salah seorang partner diskusi yang juga mantan Persebaya Surabaya dan PSIS Semarang, M. Fachrudin pernah menuturkan sebuah kalimat emas. Cak Udin, begitu saya akrab menyapanya, berucap, "Kata mereka, hanya ada satu Messi di dunia. Dia yang ada di Argentina atau di Barca. Hmm, mereka belum tahu bahwa ada banyak Messi di negara kita Indonesia. Bahkan, kadang kita sendiri tidak menyadarinya."
Berdasarkan sensus yang dilakukan pada tahun 2015 lalu, Argentina, negara kelahiran Messi, memiliki jumlah penduduk sebesar 43.4 juta jiwa. Dari jumlah itu, mereka mampu melahirkan satu orang hebat bernama Lionel Messi. Negara kita, Indonesia, memiliki jumlah penduduk sebesar 255.4 juta jiwa. Enam kali lebih besar dari jumlah penduduk Argentina. Secara logika sederhana, dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar, tak sulit rasanya menemukan pesepakbola hebat selevel Messi. Indonesia bahkan bisa punya enam Lionel Messi. Wow, hebat kan?
Apa mau dikata, kenyataannya berkata lain. Kita hanya punya satu pemain dengan julukan Messi-nya Indonesia, yakni Andik Vermansyah. Kawan baik saya ini memang sudah go international. Ia sudah bermain di luar negeri. Meski baru sebatas membela Selangor FA, klub kaya dari Malaysia. Andik belum bisa menyamai prestasi Messi. Padahal di belahan dunia lain, seorang Messi-nya Jerman, mampu membawa negaranya menjuarai Piala Dunia 2014. Dia adalah Mario Gotze.
Saya bersama Robert Nepa Seno, salah seorang tokoh futsal nasional dari Jawa Timur (Jatim), pernah membahas masalah ini. Dari pembicaraan itu, kami sepakat bahwa Indonesia sebenarnya bisa menjadi bangsa hebat yang kuat di segala bidang. Apalagi Indonesia memiliki sumber daya manusia yang melimpah dan berkualitas unggul. "Buktinya, tak terhitung berapa anak muda Indonesia yang berprestasi di dunia. Entah itu lewat olimpiade sains atau kejuaraan-kejuaraan olahaga tingkat internasional. Yang membuat Indonesia akhirnya tertinggal cuma satu. Teknologi," jabar Robert.
Nah, inilah pekerjaan rumah yang harus dituntaskan bersama. Baik itu oleh Pemerintah, PSSI maupun klub, maupun kita-kita ini para pecinta sepakbola nasional. Indonesia tak seperti Inggris yang klub sepakbolanya memiliki stadion sendiri, komplek latihan sendiri bahkan rumah sakit sendiri. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran pemerintah untuk menyediakan hal ini. Perbanyak lapangan sepakbola. Jika belum bisa menyediakan lapangan standar internasional, cukup sediakan lapangan standar nasional saja. Yang penting, anak-anak kita memiliki tempat untuk mengasah skill sepakbolanya.
Tugas PSSI adalah menyediakan kurikulum sepakbola yang baik dan benar. Kurikulum ini tak sekadar mengatur tentang teknik sepakbola, tapi faktor non teknis di luar lapangan hijau. PSSI bisa saja mengatur standar pendidikan pesepakbola. Misal, seorang pesepakbola minimal harus lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Atau, untuk bisa terjun di liga profesional, pesepakbola Indonesia harus menyandang gelar sarjana dengan IPK minimal 3.0. Memang terkesan ekstrem. Namun ini juga demi kebaikan pesepakbola itu sendiri di kemudian hari. Paling tidak saat memasuki masa pensiun, mereka sudah memiliki modal untuk berusaha atau bekerja di bidang lain.
Tak salah pula jika PSSI memberikan pelatihan bisnis untuk pesepakbola di Indonesia ini. Sama seperti standar pendidikan, pelatihan bisnis juga bermanfaat jika atlet sudah memasuki masa pensiun. Jangan sampai muncul pemberitaan mantan atlet yang menjadi kuli bangunan atau tukang becak setelah dia lepas dari lapangan hijau. Dengan pelatihan bisnis, PSSI bisa mereduksi jumlah mantan atlet atau pelatih yang terjun di lembah hitam, seperti pengaturan skor.
PSSI juga berkewajiban untuk menyediakan pelatih-pelatih berkualitas. Pelatih terbaik tak harus menangani tim kasta tertinggi. Akan tetapi, pelatih terbaik juga bisa menjadi penemu atau pengasah bakat-bakat muda Indonesia. Standar kelulusan kursus pelatih harus ketat dan dibersihkan dari praktek kesepakatan di bawah meja. Jika Indonesia memiliki banyak pelatih berkualitas, tentu tak mudah untuk menemukan satu atau mungkin enam pemain selevel Lionel Messi.
Peran klub juga tak bisa dikesampingkan. Sebab yang memiliki pemain bukan PSSI atau Pemerintah, tapi klub. Jika bicara klub, Ajax Amsterdam patut dijadikan sebagai kiblat. Ajax tak sekadar mengejar prestasi, tapi mereka juga getol melakukan pembibitan pemain. Bahkan dalam menciptakan La Masia, mendiang Johan Cruyff menyontek kurikulum sepakbola milik Akademi Ajax. Cruyff sendiri merupakan jebolan Ajax. Sekali lagi, kurikulum sepakbola tak sekadar mengurusi tetek bengek di lapangan hijau. Klub juga bisa mengontrol tikah laku hingga pola makan sang atlet.
Siapapun anak Indonesia yang nantinya menyamai prestasi Messi, ia harus menyontoh tingkah laku Mesiah di luar lapangan. Messi adalah sosok rendah hati. Ia juga family man. Messi lebih memilih menghabiskan waktunya bersama keluarga, dari pada keluar rumah untuk bersenang-senang dengan teman atau koleganya.
Salah seorang mantan pelatih di Newell's, Quique Dominguez dalam biografi Messi, menuturkan, "Ada seorang pesepakbola yang jatuh karena minuman, pesta, ego berlebihan, dan banyak pemberontakan. Leo sama sekali bukan orang yang seperti itu. Untuk Leo sepertinya bola sudah menjadi bagian dari tubuhnya."
Advertisement
Berita Terkait
-
Liga Spanyol 18 April 2016 20:31
-
Liga Spanyol 18 April 2016 18:47
-
Liga Italia 18 April 2016 17:20
-
Liga Spanyol 18 April 2016 15:11
-
Galeri 18 April 2016 12:43
LATEST UPDATE
-
Tim Nasional 22 Maret 2025 17:03
-
Tim Nasional 22 Maret 2025 16:43
-
Tim Nasional 22 Maret 2025 16:05
-
Tim Nasional 22 Maret 2025 15:24
-
Piala Dunia 22 Maret 2025 15:10
-
Otomotif 22 Maret 2025 15:08
MOST VIEWED
HIGHLIGHT
- 5 Pemain Gratisan yang Bisa Direkrut Manchester Un...
- Di Mana Mereka Sekarang? 4 Pemain 17 Tahun yang Pe...
- 7 Eks Pemain Real Madrid yang Bersinar di Tempat L...
- 10 Opsi Striker untuk Man United: Solusi Ruben Amo...
- 5 Pemain yang Pernah Membela PSG dan Liverpool
- 7 Mantan Rekan Setim Cristiano Ronaldo yang Pernah...
- Di Mana Mereka Sekarang? 5 Pemain yang Diminta Pau...