Alessandro Nesta dan Seni Bertahan Yang Tanpa Cela

Alessandro Nesta dan Seni Bertahan Yang Tanpa Cela
Alessandro Nesta (c) ist

Bola.net - Bola.net - Tidak banyak bek yang sanggup membuat seorang pemain sekaliber Lionel Messi merasa frustrasi di atas lapangan. Mungkin hanya bek sekelas Alessandro Nesta yang mampu melakukannya.

Nesta adalah bek dengan kemampuan komplet, yang diakui sebagai salah satu bek terbaik sepanjang masa. Kemampuannya dalam bertahan, yang ditunjang fisik, skill dan visi mumpuni membuat dia begitu susah ditaklukkan.

Zonal marking, man marking, aerial duel, tactical knowledge, tackle, clearance hingga passing ability yang dimiliki Nesta terbilang berada di atas rata-rata. Bek terbaik Serie A 2000, 2001, 2002 dan 2003 ini adalah bek sentral sempurna terakhir yang pernah dimiliki Italia.

Camp Nou, September 2011. Barcelona menjamu AC Milan di partai fase grup Liga Champions, yang berkesudahan imbang 2-2.

Barcelona, dengan skuat yang jauh lebih berkualitas daripada Milan waktu itu, gagal menang. Salah satu sebabnya adalah tidak ada gol dari Messi, yang sepanjang laga dibuat tak berkutik dalam penjagaan Nesta.

Pada satu kesempatan, Messi mendapatkan sebuah peluang emas. Dengan dribelnya, Messi menembus barisan pertahanan Milan dan terus mendekat ke gawang. Namun, begitu bintang Argentina itu bersiap melakukan penyelesaian akhir, Nesta menggagalkannya dengan sebuah tekel sempurna yang dilancarkan penuh perhitungan dari sudut mati La Pulga.

Messi sampai berkali-kali memukul tanah. Mungkin dia tidak habis pikir, bagaimana dia bisa digagalkan oleh pemain yang usianya terpaut 11 tahun darinya. Terlebih lagi, itu terjadi di dalam kotak penalti dan dilakukan dengan kontak seminimal mungkin untuk menghindari pelanggaran.

Lalu, seperti apakah dia di masa keemasannya? Ya, waktu itu Messi berusia 25, sedangkan Nesta sudah 36.

Italia telah melahirkan sederet bek tangguh, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang persepakbolaan mereka.

Di era 1950 hingga 60-an, ada pilar-pilar seperti Giovanni Trapattoni, Tarcisio Burgnich dan almarhum Cesare Maldini. Bertahun-tahun kemudian, di era keemasan Calcio antara 1980 hingga 90-an, ada ikon semacam Gaetano Scirea juga Franco Baresi sang bandiera AC Milan.

Di bawah bimbingan Baresi, muncullah penerusnya pada diri Paolo Maldini. Il Capitano mengikuti jejak loyalitas dan karier penuh kesuksesan sang senior dengan seragam merah-hitam.

Lalu ada pula Fabio Cannavaro, yang membawa prestasi di level klub menjadi kejayaan di pentas internasional. Usai mengkapteni Italia saat jadi juara Piala Dunia 2006 di Jerman, trofi individu bergengsi Ballon d’Or pun diraihnya.

Namun dari semua itu, ada satu nama yang cukup menonjol dibandingkan lainnya. Baginya, bertahan adalah sebuah seni - dan dia mampu menampilkannya dengan sempurna tanpa cela. Dia adalah Alessandro Nesta.

Nesta lahir 19 Maret 1976 di ibu kota Italia, di tengah-tengah rivalitas panas Lazio dan AS Roma.

Pada 1985, Nesta didekati oleh Francesco Rocca, scout dari kubu Roma. Namun ayah Nesta yang merupakan tifosi Lazio, menolak Giallorossi, memastikan putranya memiliki cinta yang sama terhadap warna biru langit.

Di usia sembilan tahun, Nesta mengawali youth career-nya dengan Lazio. Dia memainkan beberapa posisi berbeda, termasuk striker dan gelandang, sebelum menemukan posisi terbaiknya sebagai pemain bertahan.

Dino Zoff adalah pelatih yang memberi Nesta debut senior pada 13 Maret 1994 dalam laga tandang melawan Udinese. Namun Zdenek Zeman lah yang berjasa besar membuatnya jadi pemain seperti yang kita kenal sekarang.

Pada musim 1995/96, Nesta menunjukkan perkembangan signifikan. Semua itu tak lepas dari filosofi sepakbola ofensif yang diusung oleh Zeman, di mana serangan dibangun dari belakang. Nesta pun berevolusi menjadi seorang bek yang elegan.

Kepada Corriere della Sera, Nesta pernah mengatakan: "Saya takkan melupakan siapa yang telah mengorbitkan saya di olahraga ini. Zeman punya peran fundamental dalam karier saya. Dia percaya pada kemampuan saya. Dia seorang jenius yang kadang salah dimengerti oleh banyak orang."

Nesta memiliki fisik, teknik dan mental yang istimewa. Selain itu, kemampuannya untuk membaca permainan dan melepas operan membuat dia jadi bek yang diidamkan oleh setiap pelatih.

Pada 1997, di bawah kepelatihan Sven-Goran Eriksson, Nesta dipercaya mengenakan ban kapten Lazio. Pada 1998, Nesta mencetak gol kemenangan Lazio dalam final Coppa Italia melawan AC Milan. Penghargaan sebagai Pemain Muda Terbaik Serie A pun disabetnya.

Pada musim 1998/99, Nesta dan kawan-kawan gagal meraih Scudetto setelah disalip Milan di dua giornata pemungkas. Lazio kalah dengan selisih satu poin. Musim berikutnya, presiden Sergio Cragnotti menggelontorkan dana besar untuk mendatangkan amunisi-amunisi baru berkualitas demi juara.

Bintang-bintang seperti Juan Sebastian Veron hingga Diego Simeone direkrut. Bersama pilar-pilar semacam Pavel Nedved, Roberto Mancini, Sinisa Mihajlovic dan Marcelo Salas, Lazio yang dikapteni Nesta akhirnya merajai Serie A. Musim itu, mereka bahkan juga meraih trofi Coppa Italia.

Hanya sayang, dua tahun berselang, masalah finansial memaksa Cragnotti menjual bintang-bintangnya. Nesta termasuk di antaranya.

Waktu itu, Silvio Berlusconi tidak main-main dalam membangun AC Milan. Nesta diboyong ke San Siro dengan nilai transfer mencapai €30 juta. Rossoneri pun memiliki salah satu lini pertahanan paling solid dan paling sulit diruntuhkan, tak hanya di Italia namun juga Eropa.

Kapten Paolo Maldini, , Alessandro Costacurta dan Jaap Stam adalah beberapa rekan Nesta selama menggalang lini belakang Milan. Kesuksesan demi kesuksesan pun mengiringi perjalanan kariernya dengan seragam merah-hitam.

Trofi Coppa Italia dan Liga Champions diraih Nesta pada musim pertamanya di Milan. Dia kemudian juga meraih dua Scudetto Serie A dan gelar Liga Champions keduanya di tahun 2007 lewat sebuah pembalasan manis lawan Liverpool.

Selama sepuluh musim memperkuat Milan (setelah meninggalkan Milan, Nesta memperkuat Montreal Impact 2012-2013; terakhir dia bermain di Chennaiyin FC tahun 2004), perjalanan karier Nesta tak selalu mulus. Kendala utamanya adalah cedera. Cedera punggung serius bahkan sempat membuatnya absen sepanjang musim 2008/09.

Namun di saat prima, Nesta bukanlah lawan sembarangan. Mungkin hanya striker sempurna sekelas Il Fenomeno yang mampu membuatnya kerepotan.

Yang jelas, setelah ditinggal Maldini dan Nesta, Milan tak lagi sama.

Pemain hebat pasti jadi panutan atau sosok yang ditiru oleh pemain lain, baik dari generasi yang sama maupun generasi setelahnya. Itulah Nesta.

Salah satu yang mengakui Nesta sebagai role model-nya adalah Leonardo Bonucci, bek Italia yang gabung Milan dari Juventus pada musim panas 2017.

Kepada situs resmi klub, Bonucci mengungkapkan: "Saya sangat mengagumi Alessandro Nesta karena cara bertahannya dan bagaimana dia memainkan bola. Dia selalu bermain dengan elegan, dan timing-nya sempurna."

"Dia adalah teladan. Saya beruntung bisa bertemu dengannya di lapangan. Itu pertama kalinya saya merasa sangat emosional, ketika meminta legenda sepertinya untuk bertukar seragam."

Jika testimoni dari Bonucci kurang meyakinkan, maka pernyataan Maldini yang satu ini pasti bisa menegaskan kehebatan Nesta.

Maldini mengatakan ini kepada Milan Channel pada Mei 2012, ketika sang mantan partner Nesta memutuskan untuk meninggalkan Milan dan Serie A. "Kita akan ditinggalkan oleh salah satu bagian penting dari sejarah klub, juga bagian penting dari sejarah persepakbolaan Italia."

"Tak mudah menemukan pemain Italia sekaliber dirinya."

"Dari segi teknik, mental dan taktik, dia adalah salah satu dari sedikit pemain yang tak terlupakan di persepakbolaan Italia. Dia sudah membangkitkan kembali tradisi bek sentral hebat di AC Milan, yang dimulai dari ketika pertama kali saya bermain 20 tahun lalu."

Mungkin para penyerang era sekarang bisa dibilang beruntung karena mereka tak perlu menghadapi bek-bek seperti Maldini, Cannavaro, dan terutama Nesta...