Ada TERORIS di Sepakbola Indonesia!

Ada TERORIS di Sepakbola Indonesia!
Ada TERORIS di Sepakbola Indonesia! (c) Marco Gracia Paulo

Bola.net - Bola.net - Kita dikejutkan oleh terror bom dan penembakan yang terjadi di area Sarinah, Thamrin, Jakarta kemarin. Pelaku terror mencoba menebar ancaman dan mengganggu keamanan serta kenyamanan hidup warga Jakarta. Dengan rencana yang dipersiapkan cukup matang, mereka membawa pesan untuk disampaikan melalui aksinya: Kami Ada!

Saya tak kuasa menahan pikiran liar untuk menengok pada kondisi sepakbola kita saat ini. Sepakbola yang lesu dan belum jelas masa depannya bak mayat hidup yang berjalan tanpa arah. Akhirnya dua pihak yang kelihatannya berseteru menjadi pelampiasan kekesalan kita akan ‘mati suri’-nya sepakbola kita.

Mungkin jauh dari pikiran kita, namun bila kita salami lebih dalam, maka sebenarnya sebelum ‘mati suri’, sepakbola kita telah hidup dalam derasnya gelombang teror yang menghantam sepakbola kita secara terus-menerus dan dengan kekuatan yang progresif.

Jadi maafkan saya, dan silahkan mengabaikan pesan ini apabila menurut anda tak bermanfaat, namun hati saya tergelitik, tak tahan ingin bertanya:

Kita, para pelatih SSB, akademi ataupun klub, yang mengajarkan pada anak didik ataupun pemain kita untuk melakukan segala cara, termasuk menghajar lawan dengan kekerasan, melawan wasit yang tidak memberi keputusan menguntungkan dan menukar kupon yang berlabel “pemenang” dengan harga diri, kehormatan dan sportivitas; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para orangtua yang dengan penuh dedikasi mengantarkan anak-anak kita berlatih di SSB dan akhirnya saat bermain pada sebuah turnamen ataupun kompetisi, berargumen dengan pelatih SSB kita, termasuk dengan tim peserta lainnya (mulai dari pelatihnya, pemainnya sampai pada orang tuanya juga). Bahkan wasit akan kita caci-maki dengan teriakkan histeris membabi-buta; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para pemain yang hanya mementingkan kemenangan dan rekor pribadi diatas segalanya, termasuk dengan mengorbankan sprotivitas sebagai landasan utama dari filosofi sepakbola. Pemain yang menukar harga dirinya dan juga timnya dengan sejumlah uang, bahkan dengan rela merubah arah permainan serta mengkhianati esensi permainan itu sendiri, dengan memasukkan bola ke gawang sendiri. Pemain yang bersedia tidak menampilkan permainan terbaiknya atau bahkan berpura-pura sakit agar tidak perlu main di pertandingan yang sudah ditentukan hasilnya jauh sebelum peluit awal ditiupkan; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para pemilik dan pengurus SSB, akademi dan pengurus klub, yang mengambil keuntungan pribadi dari klub kita sendiri. Yang mengambil uang hak para pemain, pelatih dan seluruh individu yang terlibat di dalam klub kita. Yang berjabat tangan dengan pihak-pihak tertentu sebagai tanda untuk menjual atau membeli pertandingan, yang dengan seenaknya memperlakukan pemain atau anggota klub yang lain tanpa rasa hormat, yang meninggalkan dan ‘membuang’ pemainnya karena cedera tanpa sedikitpun bertanggung jawab; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para pelatih, ofisial dan manajemen SSB, akademi dan klub sepakbola, yang hanya menginginkan menang di atas segalanya dan melupakan kewajiban membina tunas-tunas muda calon penerus sepakbola. Yang lebih memilih nama-nama besar yang pengalaman dan menutup kesempatan bagi para pemain muda untuk mendapat jam terbang dan berkembang. Yang menerima ‘pesanan-pesanan khusus’ dalam pertandingan dan mengesampingkan semangat dan kerja keras para pemainnya untuk ditukar dengan dana segar; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para pengurus organisasi sepakbola, baik di tingkat terendah sampai tertinggi, di wilayah bagian ataupun di tingkat pusat yang mempraktikkan korupsi tidak peduli berapapun jumlahnya. Yang menggunakan sepakbola murni untuk kepentingan lain seperti politik. Kita yang bergagah-gagahan menggunakan simbol pengurus sepakbola nasional, tanpa mau belajar sungguh-sungguh apa permasalahan sebenarnya di sepakbola kita dan darimana kita harus memulai program pembenahan yang efektif dan efisien. Yang lebih memilih sepupu, adik atau kakak dan saudara atau sahabatnya untuk diberikan jabatan-jabatan dalam organisasi, yang harusnya ditempati oleh anak-anak muda yang berkompeten dan memiliki passion membangun sepakbola. Kita yang bermain-main dengan budget organisasi yang seharusnya digunakan untuk pembenahan dan pembangunan sepakbola melalui segala aspeknya. Yang menggunakan jabatannya dan mengeksploitasinya untuk kemakmuran pribadi dan kelompok; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para penikmat, penonton yang mengaku cinta mati pada sepakbola, padahal sebenarnya hanya cinta satu bagian kecil dari sepakbola yaitu sebuah klub idola. Yang rela mati dan mencabut nyawa setiap orang yang berseberangan dengan kita, apalagi orang dengan atribut tertentu yang diberikan cap (entah oleh siapa awalnya) musuh bebuyutan kita. Kita yang datang berbondong-bondong, sampai di stadion sudah mabuk berat dan kehilangan pelajaran sebenarnya dari sepakbola melalui sebuah pertandingan, dan tersadar ketika kembali keluar stadion dan sudah terlanjur masuk ke medan pertempuran yang menjadi rutinitas, apapun hasil di lapangan. Kita yang begitu membenci saudara sebangsa kita sendiri hanya karena beda warna, dan malah mengeluk-elukan orang asing cuma bias ditonton di layar kaca saja. Kita yang melempar botol minuman berisi air seni, yang membakar kursi di dalam stadion, merusak fasilitas umum lainnya saat kita keluar dari stadion dan lebih parahnya melempari wasit dan bahkan meringsek masuk ke lapangan untuk memukuli wasit atau sekedar membuat kegaduhan. Yang memanjat pagar untuk masuk tanpa tiket dan merasa itu merupakan ritual yang mulia; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para pihak ketiga, panpel pertandingan, EO dan pihak lainnya yang merupakan stakeholders sepakbola Indonesia. Yang hanya mengeksploitasi sepakbola, yang hanya mendatangkan klub-klub besar untuk sekedar bertanding, dan pulang meninggalkan kita hanya dengan kaos penuh tandatangan saja, dan buka program nyata untuk bangun sepakbola? Yang sudah mengecap banyak keuntungan tanpa sungguh-sungguh memikirkan cara untuk berikan kontribusi nyata dalam membangun sepakbola Indonesia dan melempar tanggung jawab itu hanya kepada pengurus organisasi saja; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Kita para pemuda, anak-anak Bangsa, yang sudah dititpkan tugas mulia olah para pendahulu kita untuk mengisi kemerdekaan dengan pembangunan akhlak dan manusia Indonesia melalui segala aspeknya, termasuk sepakbola. Anak-anak muda yang memiliki keahlian di bidang-bidang yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk membangun sepakbola kita, namun melihat jijik sepakbola dan lebih memilih jalan aman dan nyaman. Pemuda-pemudi yang lebih memilih untuk berleha-leha, kongkow-kongkow dan bergosip ria, lalu mencaci-maki sepakbola kita, padahal sesungguhnya memiliki kesempatan nyata untuk menyingsingkan lengan dan membangun Bangsa melalui sepakbola; maaf tanya, apakah kita bukan TERORIS SEPAKBOLA?

Jadi, pernyataan itu benar adanya. Sesungguhnya, ada TERORIS di SEPAKBOLA INDONESIA.

Jumat, 15 Januari, 2016 16:13:49 WIB

Marco Gracia Paulo (CEO PBR Tahun 2013-2015)