Athena 1994: Saat AC Milan Memupus Mimpi 'Tim Impian' Barcelona

Athena 1994: Saat AC Milan Memupus Mimpi 'Tim Impian' Barcelona
Johan Cruyff saat melatih Barcelona (c) FC Barcelona

Bola.net - Final Liga Champions 1994 di Athena menjadi satu momen tak terlupakan bagi Barcelona, tapi dalam artian yang tidak menyenangkan. Di tempat ini, mimpi mereka, 'Tim Impian' (Dream Team) Johan Cruyff, mati dan lenyap tak berbekas. AC Milan memberi mereka sebuah kekalahan pahit yang sangat membekas sekaligus pelajaran berharga.

Hasil akhirnya benar-benar di luar dugaan banyak orang, terutama Barcelona. Pasalnya, di atas kertas, mereka waktu itu jauh lebih superior dibandingkan lawannya.

Namun, Milan justru menampilkan salah satu performa terbaik di final sebuah kompetisi elit Eropa dan memberi Barcelona pelajaran.

Agar kamu tidak ketinggalan informasi terbaru seputar Liga Champions, kamu bisa join di Channel WA Bola.net dengan KLIK DI SINI.

1 dari 6 halaman

Milan Timpang

Milan menatap final itu dalam kondisi timpang. Pelatih Fabio Capello kehilangan beberapa pemain pilarnya.

Striker legendaris Marco van Bastern masih absen akibat cedera, begitu pula pemuda sensasional Gianluigi Lentini. Sementara itu, sweeper dan kapten Franco Baresi, serta bek Alessandro Costacurta, terkena skorsing.

"Kami bukan favorit waktu itu," kenang Paolo Maldini, seperti dikutip The Guardian.

2 dari 6 halaman

Barcelona Jadi Percaya Diri Berlebihan

Barcelona pada titik itu baru saja meraih gelar juara La Liga empat kali secara beruntun, dan sangat difavoritkan meraih titel European Cup/Liga Champions keduanya dalam tiga tahun. Dipadu kondisi lawannya, Barcelona jadi percaya diri berlebihan.

"Barcelona adalah favorit. Kami lebih komplet, lebih kompetitif, dan lebih berpengalaman dibandingkan [final 1992] di Wembley," kata Cruyff waktu itu.

"Milan tak bisa dibandingkan dengan kami. Fondasi permainan mereka adalah pertahanan, sedangkan kami serangan."

Sebagai gambaran, ketika Cruyff merekrut Romario, yang telah mencetak 30 gol dalam 33 laga, Milan mengeluarkan uang dengan jumlah yang sama untuk seorang gelandang bertahan - Marcel Desailly. "Itu menjelaskan semuanya," tegas Cruyff.

3 dari 6 halaman

Anomali

Yang terjadi di atas lapangan adalah sebuah anomali. Barcelona dengan segala keunggulannya justru dibuat tak berdaya.

Milan membuat barisan tengah Barcelona mati. Desailly mendominiasi. Demetrio Albertini leluasa berkreasi.

Sementara itu, Barcelona hampir tak sanggup membawa bola ke depan. Romario maupun Hristo Stoichkov terisolasi di barisan depan.

Tim racikan sang master tactician Fabio Capello, yang diperkuat pemain-pemain seperti Maldini, Albertini, Zvonimir Boban, Desailly, Dejan Savicevic, serta Daniele Massaro tampil perkasa. Milan, yang kata Cruyff defensif, menggilas 'Tim Impian' miliknya empat gol tanpa balas.

Massaro mencetak dua gol, sedangkan Savicevic dan Desailly masing-masing menyumbang satu.

4 dari 6 halaman

Apa yang Terjadi Sesudahnya?

Usai final itu, suasana ruang ganti Barcelona ibarat sebuah kuburan. "Mati," kenang salah satu staf Barcelona. "Mati, mati, mati. Saat itu, ketika tim butuh dukungan, mereka tak mendapatkannya."

Cruyff pun cuma diam, dan meninggalkan ruangan.

"Setelah gol letiga, kami tahu kalau semua sudah berakhir," kenang kiper Barcelona, Andoni Zubizarreta. "Itu adalah malam terburuk dalam karier saya."

5 dari 6 halaman

Pelajaran: Jangan Pernah Meremehkan Lawan

Di final 1992, di Wembley, Barcelona mengalahkan Sampdoria 1-0. Waktu itu, team talk Cruyff adalah: "Turunlah ke lapangan dan nikmati pertandingan ini."

Di Athena, team talk Cruyff: "Kalian lebih baik daripada mereka, jadi kalian akan menang."

Di sini, kita bisa melihat perbedaannya. Dari sini pula, kita bisa mengambil suatu pelajaran - jangan pernah meremehkan lawan.

Costacurta pun bilang demikian. "Andai mereka tidak melakukannya (meremehkan Milan), ceritanya mungkin berbeda," kenangnya.

Setelah final di Athena itu, Cruyff tak mampu lagi membawa Barcelona meraih satu pun trofi juara. Menyusul konfliknya dengan petinggi Barcelona, dia akhirnya dipecat pada musim panas 1996.

6 dari 6 halaman

Penegasan Status AC Milan

Situasi kontras bisa kita lihat di kubu Milan.

Milan musim itu sukses menyandingkan trofi Liga Champions dengan Scudetto Serie A. Mereka juga menjuarai Supercoppa Italiana.

Trofi elit Eropa, dipadu dengan catatan impresif 58 laga tak terkalahkan di Serie A antara 1992 sampai 1994, pun menegaskan status Milan era tersebut sebagai salah satu tim terbaik sepanjang sejarah.

Sementara itu, mimpi 'Tim Impian' Johan Cruyff sudah mati di Athena.