
- Lomba balap sepeda dalam rangka HUT Kowilhan I Bukit Barisan pada 1971 menjadi langkah awal Sutiyono menjadi pembalap sepeda meski saat itu ia belum berpikir serius. Sutiyono, yang memang menyukai olahraga, akhirnya memutuskan mengikuti lomba tersebut dengan sepeda rakitan sendiri.
Sutiyono pun menyatakan bahwa motivasi utamanya kala itu adalah ingin menjajal olahraga individu. Sebelumnya, ia ikut bermain sepak bola dan masuk ke tim voli, namun akhirnya beralih ke cabang individu, yang ia yakini bahwa prestasi seorang atlet ditentukan oleh perjuangannya sendiri.
Serius mendalami balap sepeda, Sutiyono meraih prestasi yang membuatnya diperhitungkan sebagai atlet potensial Indonesia. Satu per satu prestasi diraihnya, mulai dari meraih lima medali emas PON 1973, 1975 dan 1981, medali emas dan perunggu di ASEAN Tour de Singapore 1975 dan Tour of Formosa di Taiwan pada 1976. Ia juga merebut emas di SEA Games 1977, 1979 dan 1981.
Selain itu, kejuaraan balap sepeda Asia 1977 dan 1981 yang digelar di Manila, Filipina, menjadi arena lain Sutiyono berprestasi, di mana medali emas dan perak berhasil diraihnya. Asian Games 1978 dan 1981 juga menjadi bagian dari perjalanan Sutiyono meski tak berhasil meraih medali, sama seperti ketika ia tampil di Kejuaraan dunia balap sepeda di Jerman pada 1978.
Semua perjalanan berkesan di dunia balap sepeda itu tak membuat Sutiyono melupakan satu hal, yaitu bagaimana ia memulainya lewat sepeda rakitannya sendiri saat mengikuti lomba balap sepeda HUT Kowilhan I Bukit Barisan. Sutiyono pun kini menjadi seorang legenda yang sangat dikenal di Medan dan Sumatra Utara.
Berkat Bimbingan Pelatih
Sepeda rakitan dan lomba balap sepeda di Medan dalam HUT Kowilhan menjadi titik awal karier Sutiyono sebagai atlet andalan Indonesia. Namun, mungkin semua kisah keberhasilannya menjadi seorang legenda saat ini tak akan ada tanpa kehadiran Maurice Lungo.
Maurice Lungo merupakan warga Italia yang tinggal di Medan, mulai Februari 1971. Menurut pengakuan Sutiyono, Lungo merupakan seorang pembalap sepeda profesional di negara asalnya. Bakat alam Sutiyono pun dilihat oleh Lungo yang kemudian memintanya untuk berlatih bersama. Kerja keras Sutiyono kerap mendapat apresiasi dari Lungo lewat hadiah seperti ban sepeda atau velg baru.
"Ia mengarahkan saya sesuai dengan kemampuan yang saya miliki. Ia memiliki dasar balap sepeda karena dia juga merupakan seorang profesional dari Italia. Saya kemudian berpikir kalau saja saya tidak dilatih olehnya mungkin saya tidak bisa menjadi pembalap yang baik," kisah Sutiyono. "Akhirnya terbukti apa yang dikatakannya, dalam empat bulan saya bisa meraih prestasi ketika mengikuti kejuaraan daerah di Siantar."
Dalam 10 bulan saja, Sutiyono pun mendapat kesempatan turun di kejuaraan nasional sebagai wakil Sumatera Utara, dan berhasil menjadi juara umum di kategori individu. Dalam ajang yang sama, ia turun di tiga nomor, yakni tur Jakarta-Lido, tur Jakarta-Serang dan tur Jakarta-Cibulan.
"Saya menjadi juara untuk tur Lido dan Cibulan, serta menjadi peringkat kedua di tur ke Serang. Karena itu saya bisa menjadi juara umum. Prestasi dalam 10 bulan bersamanya membuat saya memutuskan tetap berlatih di bawah arahannya hingga akhirnya ke pelatnas," lanjutnya.
King of the Mountain
Semua torehan prestasi Sutiyono sebagai pembalap sepeda masih tersimpan rapi di rumahnya. Sebuah kabinet di ruang tamu memperlihatkan betapa banyak trofi dan penghargaan yang telah diraih. Bahkan semua medali masih tersimpan rapi di dalam sebuah kotak dengan dibungkus kertas untuk menandai di mana dirinya berhasil meraih medali itu.
Satu trofi berukuran besar sungguh menarik perhatian. Trofi tersebut memiliki plakat di bagian bawahnya dengan tulisan, "Picca Tour '77, 28 Maret - 3 April 1977", yang dilanjutkan dengan predikat "Most Well-Coordinated Team, King of the Mountain, Sutiyono, didonasikan oleh Mayor Jenderal Fidel Ramos".
Fidel Ramos merupakan presiden ke-12 Filipina yang menjabat pada 1992-1998. Ketika menyerahkan trofi kepada Sutiyono, Ramos tengah menjabat sebagai Kepala Constabularia Filipina, sebuah kesatuan polisi yang didirikan pemerintah kolonial Amerika Serikat yang menggantikan pemerintah kolonial Spanyol di Filipina.
Momen meraih predikat King of the Mountain di Tour of Picca itu ternyata menjadi satu yang terbaik yang dirasakan oleh Sutiyono. Tak hanya karena prestasi yang diraihnya, tapi karena adanya dukungan luar biasa yang dirasakannya ketika bertanding di Filipina saat itu.
"Yang paling berkesan memang kejuaraan Tour of Picca yang digelar di Filipina. Selain karena predikat King of the Mountain, satu hal yang menarik bagi saya adalah banyak yang mengelu-elukan nama saya di situ. Saya bahkan bingung dari mana mereka mengenal saya," kisah Sutiyono.
Impian Sang Legenda
Lebih dari 10 tahun menorehkan banyak prestasi di dunia balap sepeda, Sutiyono memutuskan gantung sepeda pada 1983, kurang lebih satu tahun setelah keikutsertaannya di Asian Games 1982 di India. Setelah itu, Sutiyono mendapat pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kantor Wali Kota Medan hingga akhirnya pensiun.
Di lain sisi, ia turut melatih generasi muda untuk berprestasi, masuk pelatnas, dan mewakili Indonesia di level internasional. Alasannya berhenti menjadi atlet pun tak lain karena ingin regenerasi balap sepeda Indonesia berjalan, hingga di kemudian hari akan hadir pembalap sepeda baru yang termotivasi untuk mencatatkan prestasi yang lebih baik.
"Kalau sudah berprestasi dan berada di puncak, lebih baik saya berbagi pengalaman kepada yang lebih muda agar mereka bisa melewati prestasi kami yang sudah senior," ujar Sutiyono yang bersama enam legenda olahraga nasional lainnya berpartisipasi menggelorakan kampanye Kemenangan Itu Dekat yang diusung perusahaan jasa aplikasi Grab, salah satu sponsor Asian Games 2018.
Ketekunan Sutiyono menangani pembalap muda tak main-main. Sejak 2013 ia telah mempersiapkan pembalap muda yang diproyeksi akan mencapai performa terbaik pada 2020 hingga 2024. "Nanti 2024 Sumatra Utara dan Aceh akan menjadi tuan rumah PON. Oleh karena itu kami membina pembalap muda sejak 2013 dan membuat rencana jangka panjang," kisahnya.
Sayangnya, kendala organisasi membuat Sutiyono tak lagi dilibatkan dalam pembinaan pembalap sepeda sehingga ia sempat berkecil hati. "Namun, sekarang saya memiliki gairah untuk bisa melanjutkan pembinaan kepada anak-anak. Mereka sangat bersemangat, artinya mereka tetap memiliki kemauan untuk serius dalam olahraga ini," lanjutnya.
Momen membina anak-anak hingga serius memilih balap sepeda sebagai satu jalan menuju masa depan menjadi hal yang memuaskan bagi seorang Sutiyono. Bahkan ia masih bermimpi bisa terus memberikan perhatian dan pembinaan kepada pembalap muda yang ingin mengharumkan nama Indonesia lewat prestasi yang lebih baik.
"Selagi saya mampu, di mana saya sangat mengandalkan bakat saya di olahraga ini, saya ingin terus berbagi pengalaman hidup dan membina anak-anak generasi masa depan untuk bisa mengejar mimpi mereka," pungkas Sutiyono. [initial]
Sumber: Bola.com
Advertisement
Berita Terkait
-
Olahraga Lain-Lain 20 Mei 2017 22:44
-
Olahraga Lain-Lain 8 Januari 2017 10:32
-
Olahraga Lain-Lain 5 Januari 2017 10:03
-
Olahraga Lain-Lain 10 Oktober 2016 18:45
-
Bola Indonesia 11 Mei 2016 16:42
LATEST UPDATE
-
Liga Spanyol 20 Maret 2025 14:50
-
Piala Eropa 20 Maret 2025 14:47
-
Tim Nasional 20 Maret 2025 14:41
-
Amerika Latin 20 Maret 2025 14:39
-
Tim Nasional 20 Maret 2025 14:36
-
Tim Nasional 20 Maret 2025 14:30
BERITA LAINNYA
-
bolatainment 19 Maret 2025 10:16
-
bolatainment 19 Maret 2025 10:02
-
bolatainment 19 Maret 2025 06:17
-
bolatainment 15 Maret 2025 11:30
-
bolatainment 14 Maret 2025 15:34
-
bolatainment 10 Maret 2025 23:24
HIGHLIGHT
- 5 Pemain Gratisan yang Bisa Direkrut Manchester Un...
- Di Mana Mereka Sekarang? 4 Pemain 17 Tahun yang Pe...
- 7 Eks Pemain Real Madrid yang Bersinar di Tempat L...
- 10 Opsi Striker untuk Man United: Solusi Ruben Amo...
- 5 Pemain yang Pernah Membela PSG dan Liverpool
- 7 Mantan Rekan Setim Cristiano Ronaldo yang Pernah...
- Di Mana Mereka Sekarang? 5 Pemain yang Diminta Pau...