Virus Corona di Indonesia, Apa Saja yang Bisa Perlambat Penyebarannya?

Asad Arifin | 24 Maret 2020 12:27
Virus Corona di Indonesia, Apa Saja yang Bisa Perlambat Penyebarannya?
Pandemi virus corona (Covid-19). (c) Shutterstock

Bola.net - Virus corona di Indonesia tengah mewabah. Sampai hari Senin (23/3/2020) petang, kasus virus yang punya nama lain Covid19 tersebut di Indonesia mencapai 579 kasus dengan 49 meninggal dan 30 orang sembuh.

Lantas, bagaimana cara memperlambat penyebaran virus corona?

Advertisement

Virus Corona atau COVID-19 telah menjadi kegelisahan warga dunia karena penyebarannya yang cukup cepat. Lebih dari 177 negara kini telah terinfeksi dan salah satunya adalah Indonesia. Setelah diumumkannya kasus pertama sejak 2 Maret 2020, kini jumlah korban positif Corona mencapai 548 kasus, dan diduga masih terus bertambah.

Mengikuti seruan dari World Health Organization (WHO), bagi negara-negara untuk 'mengambil tindakan yang mendesak dan agresif', para pemimpin dunia mengadakan pembicaraan krisis dengan para pejabat kesehatan untuk mencari cara terbaik melindungi masyarakat dari virus Corona yang menyebabkan lebih dari 14.000 kematian di seluruh dunia.

Dilansir dari Health, salah satu yang dibicarakan adalah herd immunity atau kekebalan kawanan/ kelompok. Apa itu Herd immunity?

1 dari 3 halaman

Apa itu Herd Immunity

Herd immunity atau juga dikenal dengan imunitas kawanan didefinisikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) sebagai situasi di mana proporsi populasi yang cukup kebal terhadap penyakit menular (melalui vaksinasi dan/ atau antibody dari infeksi sebelumnya) membuat penyebarannya dari orang ke orang menjadi lambat bahkan bisa berhenti.

Artinya, di mana ada suatu kekebalan kawanan atau herd immunity yang berasal dari vaksinasi atau yang sudah terinfeksi dan dapat sembuh, akan lebih sedikit orang yang bisa terinfeksi, karena penyebaran virus dari orang ke orang cukup sulit.

Kekebalan kawanan melindungi orang yang tidak dapat divaksinasi karena sistem kekebalan tubuh mereka tidak cukup kuat dan karena itu paling rentan terhadap penyakit serius.

"Ketika sekitar 70 persen populasi telah terinfeksi dan pulih, kemungkinan wabah penyakit menjadi jauh lebih sedikit karena kebanyakan orang resisten terhadap infeksi," kata Martin Hibberd, seorang profesor penyakit menular di London School of Hygiene & London yang dilansir dari Aljazeera.

Herd immunity (c) Merdeka.com

Dilansir dari DW, perbedaan utama antara kekebalan yang berasal dari vaksin buatan dengan yang terinfeksi dan membentuk antibodi adalah kemanjurannya. Vaksinasi adalah kekebalan buatan yang aktif untuk membantu seseorang mengatasi virus, sementara infeksi pada akhirnya merupakan cara paling alami untuk memberikan kekebalan pada tubuh seseorang.

Walaupun kedua jenis kekebalan ini bertahan untuk waktu yang sangat lama, suatu bentuk kekebalan alami biasanya lebih efektif dan mampu menghasilkan lebih banyak produksi antibodi, yang membantu kemungkinan infeksi di masa depan.

Contoh kekebalan kawanan melalui vaksinasi adalah wabah campak di antara anak-anak usia prasekolah di AS pada akhir 1980-an. Tingkat infeksi menurun lebih cepat seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi.

Para peneliti yang meneliti hubungan antara kejadian campak dan cakupan imunisasi di antara anak-anak usia prasekolah menyimpulkan bahwa cakupan imunisasi sekitar 80% mungkin cukup untuk menghentikan wabah campak berkelanjutan di komunitas perkotaan.

Tentu saja, belum ada vaksin untuk COVID-19. Jadi situasi kekebalan kawanan sedikit berbeda. Satu-satunya pilihan adalah pemulihan dari infeksi, yang berarti membiarkan sebagian besar orang terkena virus di beberapa titik dan membuatnya kebal dari virus.

"Belum ada vaksin buatan yang pasti untuk melindungi orang dari COVID-19, menunggu kekebalan kawanan terjadi bukanlah strategi kesehatan masyarakat yang baik," tulis ahli virus UK Jeremy Rossman, PhD. Mengingat tingkat infeksi yang sangat cepat di seluruh dunia, dan menyebabkan kematian banyak orang.

Matthew Baylis, seorang profesor di Institute of Infection, Veterinary and Ecological Sciences di Liverpool University juga mengatakan hal yang sama terhadap strategi herd immunity, "Tetapi tidak harus - dan tidak akan - dengan cara ini," katanya seperti yang dilansir dari Aljazeera.

Langkah baik yang bisa dilakukan sekarang adalah mengurangi jumlah orang yang terinfeksi oleh satu orang, dengan langkah-langkah jarak sosial seperti menutup sekolah, bekerja dari rumah, menghindari pertemuan besar, dan sering mencuci tangan.

Namun, sembari melakukan social distancing atau menjaga jarak sosial, perlu dilakukan pemerataan kurva, seperti di Indonesia di mana kasus infeksi meningkat cepat. Pemerataan kurva dapat membantu petugas medis untuk tidak kewalahan dalam menolong korban positif Corona. Jadi, apa itu pemerataan kurva?

2 dari 3 halaman

Apa itu Flatten the Curve atau Pemerataan Kurva

Dilansir dari Live Science, kurva yang dibicarakan tersebut yaitu sebuah grafik yang menggambarkan dua kurva. Satu kurva berbentuk lebih tinggi dan curam sedang kurva yang lain tampak landai. Terdapat garis titik-titik di grafik tersebut, yang mana kurva yang tinggi dan curam melewati batas garis tersebut, sedangkan yang landai berada di bawahnya. Garis tersebut menunjukkan kapasitas dan sumber daya rumah sakit yang tersedia.

Sedangkan dua kurva tersebut menggambarkan jumlah orang yang terinfeksi. Di mana pada kurva curam, virus menyebar secara eksponensial (yaitu, jumlah kasus terus meningkat dua kali lipat pada tingkat yang konsisten), dan jumlah total kasus meroket ke puncaknya dalam beberapa minggu.

Flatten the Curve (c) Merdeka.com

Kurva infeksi dengan kenaikan curam juga memiliki penurunan tajam, setelah virus menginfeksi hampir semua orang yang dapat terinfeksi, jumlah kasus juga mulai menurun secara eksponensial.

Namun masalahnya, semakin cepat kurva infeksi naik, semakin cepat sistem perawatan kesehatan setempat kelebihan beban melebihi kapasitasnya untuk merawat orang. Seperti yang kita lihat di Italia, semakin banyak pasien baru, mungkin terpaksa pergi tanpa mendapat tempat tidur ICU, dan semakin banyak rumah sakit mungkin kehabisan pasokan dasar yang mereka butuhkan untuk menanggapi wabah.

Sebaliknya, kurva yang lebih datar mengasumsikan jumlah orang yang sama akhirnya terinfeksi, tetapi dalam jangka waktu yang lebih lama. Tingkat infeksi yang lebih lambat berarti sistem perawatan kesehatan tidak kelebihan pasien, di mana lebih sedikit kunjungan rumah sakit pada hari tertentu dan lebih sedikit orang sakit yang ditolak.

3 dari 3 halaman

Bagaimana kita meratakan kurva?

Karena belum memiliki vaksin khusus maupun obat untuk menghentikan penyebaran virus, WHO menyarankan untuk sering mencuci tangan, menerapkan social distancing, tidak menyentuh wajah, dan melakukan pencegahan lain seperti yang sudah disarankan.

Dengan begitu akan mengurangi penyebaran yang artinya rumah sakit bisa menangani pasien infeksi yang ada sebelumnya tanpa harus ada tambahan pasien secara drastis. Strategi pemerataan kurva ini sebelumnya berhasil dilakukan saat pandemi flu 1918, pemerintah Philadelphia melakukan isolasi diri untuk semua warga dan melihat kematian 2.000 orang, di mana sebelum isolasi terjadi kematian 16.000 orang dalam enam bulan.

Sumber: Merdeka.com - 24/3/2020

Penulis: Ani Mardatila