Indonesia di Mata Presiden AC Milan

Gia Yuda Pradana | 26 Agustus 2019 13:16
Indonesia di Mata Presiden AC Milan
(c) Magico Milan

Bola.net - Menarik mengamati sosok Paolo Scaroni, berada di pucuk organisasi AC Milan. Scaroni ditunjuk Elliot selaku pemodal sebagai Presiden AC Milan. Tentu dia yang bertanggung jawab penuh terhadap hidup mati AC Milan.

Siapa Scaroni? Di ranah sepak bola, dia pernah memimpin Vicenza pada akhir 1990-an. Dia juga bertindak sebagai presiden klub. Vicenza ketika di bawah dia mampu menjadi runner up Piala Italia yang membawa mereka ke Piala Winners. Kendati sedikit saja nyaris terdegradasi, mereka tampil trengginas di Eropa hingga menembus semifinal. Sayang Vicenza kalah dari Chelsea era Zola, ya Gianfranco Zola atau Marazola.

Advertisement

Vicenza di bawah Scaroni menjadi diperhitungkan dengan keberadaan pelatih Francesco Guidolin. Skuadnya? Aha, anda tidak akan percaya kalau ada legenda AC Milan yang pernah menjadi bagian Vicenza era Scaroni. Namanya Massimo Ambrosini. Ambro, sapaan akrabnya ketika itu dalam status pinjaman. Ada satu lagi pinjaman dari AC Milan. Anda ingat si ganteng Francesco Coco, bek kiri yang klimis itu. Selain mereka, Vicenza juga punya Roberto Baronio dan Lamberto Zauli.

Kita tinggalkan sejenak masa-masa Scaroni di Vicenza. Masa itu tinggal kenangan karena berikutnya Scaroni merambah dunia bisnis. Dia pernah menjadi CEO Enel, sebuah perusahaan listrik besar di Italia. Oh ya, dia pernah divonis 1 tahun empat bulan dalam sebuah skandal pada 1996 tetapi tidak pernah merasakan dinginnya hotel prodeo. Dia juga divonis 3 tahun pada kasus pelanggaran lingkungan saat memimpin Enel tetapi juga tidak menjalani hukuman. Alasannya teknis, di bawah aturan agar penjara tidak terlalu padat, terdakwa dengan vonis di bawah tiga tahun banyak yang berhasil menghindari masuk tahanan dengan lobi tertentu.

Pada era Li Hongyong, Scaroni termasuk delapan direktur yang menakhodai Milan selepas masa Berlusconi. Kini pada usianya yang sudah senja 72 tahun, Scaroni mendapat tugas berat untuk membangkitkan kembali AC Milan menjadi klub paling berjaya di jagad. Klub yang reputasinya menggema di seantero kolong langit namun kini masih dalam posisi tertidur.

1 dari 2 halaman

Raksasa yang Tidur

Raksasa yang Tidur

AC Milan (c) Bola.net

Yuk mari kita flashback tentang kalimat bahwa Milan adalah raksasa yang sedang tertidur

Seiring Liverpool meraih gelar keenam Liga Champions, posisinya satu lebih sedikit dari raihan tim idola kita AC Milan.

Real Madrid 13, AC Milan 7, Liverpool 6.

Dengan koleksi tujuh Si Kuping Besar, tak bisa dipungkiri kalau tim idola kita bersama Real Madrid dan Liverpool masih layak menyandang sebutan raja Eropa. Sehingga kita, layak pula mengklaim sebagai pemegang asli DNA kompetisi paling elit di Benua Lama.

Klub-klub lain, mau sekaya dan sehebat apapun, bakal selalu memegang respek terhadap kita. Rasa hormat terhadap klub idola kita yang juga sudah 18 kali juara di tanah Italia.

Sayang dan patut disesalkan. Kita tidak bisa mengarungi persaingan sepak bola era modern yang makin ketat hanya bermodal catatan sejarah dan rasa hormat dari lawan.

Sepak bola sekarang sudah banyak berubah dibanding satu atau dua dekade lalu. Tim idola kita, Milan, bukan lagi seperti dulu yang ambisius, powerful, dan berkantong tebal. Milan sekarang berupa tim yang terbata-bata mengeja sejarahnya sendiri.

Milan sekarang lawan kata dari perwujudannya dulu. Setelah sempat tampak minder, letoy, dan -istilah anak zaman now- berjiwa misqueen, Milan kini sedang membangun project besar untuk kembali menjadi raksasa.

Mungkin Anda akan bertanya-tanya bagaimana Milan sempat runtuh hingga kemudia mencoba bangkit.

Milan berada dalam posisi sekarang karena pemilik lamanya Silvio Berlusconi sudah kehilangan ambisi. Karier politiknya, di mana dia menjadi perdana menteri empat kali kurun 1994-2011, rontok tak bersisa. Semua juga tahu bisnis medianya banyak dibantu posisinya di pemerintah. Maka, ketika posisi politiknya roboh, bisnisnya pun merana. Sudah begitu, bisnis medianya banyak tergerus disrupsi teknologi.

Induk perusahaan Milan, Fininvest merugi. Berlusconi sudah tak punya lagi uang kontan buat menghidupi Milan. Pada waktu sama, sepak bola Italia juga suram. Skandal menghantam. Perolehan marketing turun, penjualan merchandise mengecewakan, nilai uang dari kontrak televisi merosot.

Celakanya, nama besar membuat Milan terjebak dalam standar gaji pemain jor-joran. Milan besar pasak daripada tiang. Beberapa bintang dilepas. Pemain banyak yang gratisan, kalau tidak meminjam dari klub lain. Prestasi merosot. Sejak 2014 tidak pernah lagi lolos ke Eropa. Milan seperti pengemis yang mengais makanan dari sampah. Merana.

Tak ada jalan lain. Seperti kita saksikan bersama-sama, Milan kemudian dijual ke Li Yonghong yang meminjam uang dari pengelola investasi Elliot. Karena tak sanggup membayar utang jatuh tempo yang berbunga tinggi dengan sendirinya Milan jatuh ke Elliot.

Harapan kita sangat besar dengan masuknya Li maupun Elliot. Lepas dari Berlusconi, mimpi kembali ke Glory Days kembali menggelayut.

Kita pun sama-sama melihat pemilik baru Milan berani berjudi dua tahun terakhir. Baik Li atau Elliot, belanja banyak pemain demi bisa lolos ke Liga Champions. Harapannya pemasukan baik dari prize money maupun sponsor bisa menutup pengeluaran.

Pada era Li, mereka belanja 150 juta euro untuk mendatangkan nama-nama seperti Leonardo Bonucci, Hakan Calhanoglu, Ricardo Rodriguez dan Andre Silva. Tahun ini mereka belanja Paqueta dan Kryzstof Piatek senilai 70 juta euro.

Endingnya kita sama-sama tahu, dua kali perjudian itu gagal.

Di saat-saat perjudian itu berlangsung, sadar tak sadar terdapat aturan UEFA yang dikeluarkan di era Michel Platini, yaitu Financial Fair Play. Aturan itu memborgol Milan untuk keluar dari status medioker.

Kita tahu, dengan FFP, klub dilarang belanja melebihi pendapatan. UEFA ingin agar klub tidak terbelit banyak utang kemudian terpeleset ke jurang kebangkrutan.

Secara normal, jalan hidup sebuah klub akan tampak seperti ini. Pemain tampil bagus dan klubnya berprestasi. Penonton tertarik ke stadion atau menonton di televisi. Kontrak dari televisi masuk. Sponsor masuk. Uang dari sponsor didistribusikan untuk membeli pemain, membayar fee agen atau memelihara fasilitas.

Jika misalnya sebuah klub belanja lebih besar dari pendapatannya, maka pada akhir musim dia dihitung rugi dan untuk itu perlu memotong pengeluarannya.

Nah, bagaimana posisi keuangan Milan sesungguhnya. Jika dihadapkan dengan FFP, situasinya memprihatinkan. Tahun fiskal 2017/2018, Milan rugi 126 juta euro. Tahun sebelumnya rugi 74 juta euro. Dengan begitu, 14 tahun terakhir mereka rugi 730 juta euro. Jika dihitung lima tahun terakhir, kerugian mencapai 460 juta euro. Tahun fiskal 2018/2019 tentu saja belum dihitung.

Itulah sebabnya Milan berkali-kali kena semprit FFP.

Sampai sampai Don Adriano Galliani mencak-mencak. Kalau kondisi keuangan merugi dan tidak boleh belanja banyak pemain bagus, bagaimana mungkin Milan bisa kembali ke era keemasannya. Kata Galliani, FFP menghalangi klub-klub lain untuk mendatangkan pemain hebat sehingga mereka yang sudah kuat secara finansial sejak lama akan terus menjadi tim kuat. "Bila FFP diterapkan sekitar tahun 1986, penggemar Milan tidak akan bisa merasakan kesenangan yang telah mereka alami," kata Galliani.

Manajemen serba salah. Di satu sisi harus memenuhi tuntutan fans untuk mengembalikan kejayaan Milan. Dus, harus belanja pemain-pemain bintang demi skuad yang kompetitif. Di sisi lain, harus patuh pada aturan FFP.

Kalau benar Elliot punya uang, bukankah Milan bisa mengakali FFP seperti yang dilakukan Manchester City atau PSG. Akal-akalan kedua klub yang didanai minyak Abu Dhabi dan gas Qatar itu baru saja diungkap Football Leaks. Kedua klub itu bisa belanja pemain besar-besaran tetapi tetap menjaga neraca keuangan hijau. Model akal-akalannya sangat licik.

Mereka memasukkan dana sponsor melalui pihak ketiga yang tidak terindikasi berafiliasi dengan pemilik. Padahal, uang sponsor ini sebenarnya juga dengan si pemilik klub. Istilahnya keluar kantong kanan masuk kantong kiri.

Elliot tak mau patgulipat seperti ini. Mau tidak mau, Milan harus menyeimbangkan neraca keuangan. Milan dituntut menjalani kehidupan sebagai klub yang normal.

Pengendali Milan, Ivan Gazidis sudah menggariskan 3 arahan fundamental. Pertama, menata situasi keuangan klub dengan tujuan kembali untung, lalu memutar keuntungan sebagai modal. Kedua, meningkatkan kualitas tim, kembali berjaya di Italia dan Eropa. Ketiga, menemukan solusi stadion, apakah tetap San Siro atau bikin baru.

2 dari 2 halaman

Bagaimana Langkah Scaroni?

Bagaimana Langkah Scaroni?

Paolo Scaroni (c) AC Milan

Begitulah ilustrasi suasana yang dihadapi Scaroni. Untuk membenahi AC Milan, Scaroni membutuhkan fondasi lebih dulu. Masalahnya seperti dalam pengakuan terbarunya, fondasi itu diperlukan dalam dua sisi, bukan hanya sisi bisnis semata tetapi juga prestasi dalam lapangan hijau. Dalam istilah Scaroni, mendaki dua gunung dalam waktu yang serentak. Susah bukan?

Uang. Itu adalah masalah pelik pertama yang dihadapi Milan. “Mengapa Milan tidak dalam kondisi bagus? Saya akan jelaskan. Pendapatan setahun Milan adalah 200 juta euro, tetapi Real Madrid lebih dari 700 juta euro. Itulah kenapa Real Madrid bisa membeli banyak pemain bagus dan membayar gaji lebih pada mereka.” kata Scaroni.

Scaroni lantas berkata, bagaimana Milan bisa meraih pendapatan 1 miliar euro dalam setahun?

“Ini bisa dilakukan dengan mendaki dua gunung dalam waktu serentak. Pertama adalah hasil di lapangan. Jika tim anda kalah dalam semua pertandingan, tidak akan mengubah apapun. Kedua adalah soal ekonomi. Anda butuh memiliki stadion sendiri, mencari sponsor baru, menjual hak siar televisi ke seluas mungkin audiens, memperluas jaringan pendukung yang akan membeli produk anda,” ujar Scaroni.

Scaroni menambahkan, secara global Juventus bahkan tidak lebih bagus dari Milan. “Milan adalah klub yang berada dalam skala global karena mereka menang Liga Champions tuju kali. Juventus tidak mencapai banyak gelar di kancah internasional. Mereka adalah klub yang berjaya di kompetisi lokal, yang untuk ini kita harus angkat topi, membuat mereka tampak besar.”

“Saya menyandarkan perkataan kepada pendukung Milan. Jika anda ingin meraih sukses, anda harus bisa menjual produk ke pendukung Milan di seantero jagad. Di Indonesia, Thailand atau Brasil. Jika Anda tidak memenangkan Liga Champions, fans Milan di Indonesia, Thailand atau Brasil bisa kabur. Jadi kita sedang berupaya mendaki dua gunung, untuk mengubah situasi kita.”

Begitulah kita di Indonesia dianggap penting oleh Presiden Milan Paolo Scaroni. Indonesia adalah salah satu fanbase Milan terbesar di dunia. Indikator gampangnya bisa dicek di social media resmi AC Milan.

Pertanyaannya, jika prestasi Milan memburuk apakah anda tetap setia atau kabur?

Artikel ini ditulis oleh Magico Milan. Jika ingin baca tulisan-tulisan lain tentang Rossoneri, follow fanpage Magico Milan. Foto: acmilan.com, kompasiana, instagram @pachesmindstore